KAJIAN SEJARAH STRUKTURIS

Posted: Juni 21, 2012 in Uncategorized

Review Buku: Geger Tengger

(Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, Robert William Hefner, 1999)

 

 

  1. I.       PENDAHULUAN
  2. A.    Latar Belakang Masalah

Sebagai masyarakat yang menamakan dirinya masyarakat Tengger sudah tentu memiliki kedinamisan hidup. Oleh karena itu sebagai manusia normal mereka tidak mau dianggap sebagai kelompok masyarakat yang statis. Menjadi orang-orang dataran tinggi identik dengan menjadi wong tani. Pada masa pra-kolonial, pertanian di dataran tinggi Tengger dikelola terutama komoditas jagung sebagai makanan pokok wilayah tersebut dan pengolahan sekunder pada bermacam-macam tanaman komersial yang dijual ke luar wilayah. Pada awal periode kolonial, populasi kecil penduduk dataran tinggi terkonsentrasi di daerah lereng atas. Para petani mempraktekkan sistem perladangan berpindah dengan pengosongan semak-semak dan rumput secara luas. Ketika satu petak tanah telah digunakan selama satu atau dua tahun, kemudian dikosongkan selama lima belas hingga tiga puluh tahun dan penduduk membuka areal hutan yang lain untuk diolah.

Pada akhir era kolonial, terjadi perpindahan kaum Muslim dari dataran rendah ke dataran tinggi akibat dari program pemerintah dalam mewajibkan pengusahaan kopi. Secara ekologis, pengusahaan kopi ini sangat mengakibatkan erosi yang sangat luas dan kerusakan humus, secara ekonomi petani juga hanya mendapatkan sedikit insentif dari apa yang mereka kerjakan. Di daerah pegunungan tidak terdapat manfaat ekologis yang sebanding dengan investasi yang dibuat oleh pemerintah pada sistem irigasi sawah. Pemerintah memberlakukan tanah pegunungan sebagai sumberdaya yang dapat dihabiskan, tanah berharga ketika tenaga manusia dihubungkan dengan pembangunan mereka.

Selain itu juga perulatan partai politik yang ada pada saat Orde Baru di daerah tersebut ikut membentuk terjadinya perubahan dalam struktur sosial masyarakat dan pemerintahan di daerah tersebut.

Berdasarkan pemaparan diatas maka, maka dalam makalah sederhana ini penulis akan mencoba mereview buku yang berjudul Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik untuk menemukan  perubahan sosial dalam masyarakta Tengger dan Mengkaji unsur strukturis dalam buku ini.

 

  1. B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang cukup penting untuk dibahas dalam makalah sederhana ini, antara lain.

  1. Bagaimanakah isi garis besar buku Geger Tengger Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik?
  2. Bagaimanakah unsur strukturis dalam buku Geger Tengger Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik?

 

  1. C.    Tujuan
  2. Untuk mengetahui isi garis besar buku Geger Tengger Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik.
  3. Untuk mengetahui unsur strukturis dalam buku Geger Tengger Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik.

 

  1. II.    PEMBAHASAN
  2. A.    Hasil Review Buku Geger Tengger Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik

Sebuah kasus Tengger, salah satu wilayah di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, yang pernah diamati oleh Hefner dengan sangat serius membuktikan sinyalemen Stephan di atas. Robert W. Hefner, yang lebih dikenal sebagai Bob Hefner ini, melalui penelitian panjang yang kemudian dibukukan menjadi, The Political Economy of Mountain Java (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (LKIS)), melukiskan perkelahian politik menjelang Pemilihan Umum 1955 sampai tahun 1965 sebagai babak politik yang penuh persaingan dan keterbukaan namun berujung menjadi ironi.

Dalam kasus Tengger itu, kegiatan politik diteriakkan terlampau bersemangat. Betapa tidak, dalam kasus Pasuruan, khususnya Tengger, isu-isu agama begitu mewarnai perkelahian politik menjelang pemilu 1955. Meskipun geografi politik Pasuruan waktu itu relatif sederhana, hanya diwarnai oleh polarisasi antara NU yang mendominasi daerah Bawah, dan daerah golongan nasional yang mendominasi daerah atas (Tengger), namun konflik politik berlangsung seru mengingat isu yang dibawa dalam kampanye itu telah menjurus kepada politisasi agama, sebuah preseden yang kembali berulang di masa kini.

Demikianlah Herbert Feith juga mengamati panggung politik menjelang tahun 1955 itu. Masyumi misalnya menyerang golongan komunis sebagai ateis, sementara Nahdlatul Ulama mengkritik Masyumi sebagai modernis. Meskipun golongan NU waktu itu dilukiskan lebih sengit dengan lawan-lawannya di kubu modernis, namun NU juga tak kalah serunya dalam menyerang agresifitas yang digerakkan orang-orang PKI dalam menggalang kekuatan massa. Isu-isu Landreform yang dilancarkan PKI tentu saja menyinggung sebagian perasaan para kiai pemilik segepok tanah di beberapa wilayah di Pasuruan. Yang tak kalah serunya juga adalah ketegangan diantara kelompok Islam Ortodoks dengan keyakinan orang Tengger yang semakin menjuruskan politisasi agama menjadi komoditas politis yang tak mudah dikesampingkan.

Orang-orang NU yang berada di kubu terbesar dari Islam Ortodoks waktu itu, meminta praktik-praktik ritual di daerah atas (Tengger) supaya dianggap sebagai penyimpangan yang tak bisa dimaafkan oleh agama. Kebetulan sebagian besar orang-orang Tengger berafiliasi kepada partai PNI dan sebagian lagi ke PKI. Dalam kaitan kasus ini Hefner melaporkan, sebelum pemilihan umum 1955, ketegangan mencapai puncaknya ketika sekelompok aktifis muslim (yang secara longgar terkait dengan fraksi radikal NU) menyerbu salah satu tempat yang paling dikenal dihuni dhanyang, yang berlokasi di tengah-tengah reruntuhan pemandian Hindu abad XIV M. Roh-roh yang melindungi tempat keramat itu dihormati oleh orang-orang muslim di daerah lereng tengah dan juga orang-orang Hindu di daerah lereng atas, dan para peziarah dari seluruh kabupaten secara reguler berkumpul di tempat itu Di bawah gelapnya malam, orang-orang militan tersebut memasuki tempat keramat, menghancurkan patung-patung Hindu Kuno dan menurunkan patung itu lalu membuangya di dekat sungai. Berita penyerangan itu menyebarkan teror di seluruh pegunungan, yang menyebabkan perasaan takut di kalangan warga Tengger.

Ketakutan ini boleh jadi sebuah perasaan sadar-diri mereka sebagai kelompok minoritas dibandingkan orang-orang NU yang bisa dengan mudah menggerakkan ribuan umatnya untuk menyerukan “perang suci”. Toh demikian, dalam Laporan Geertz, Hefner maupun Herbert Feith itu, perasaan kecewa menyelimuti sebagian elite-elite NU di level nasional mengingat usaha mereka yang berlebihan untuk merebut suara tak sebanding dengan hasilnya. Pemilu 1955 membuktikan “kejawaan” orang-orang Jawa yang tidak mudah luntur oleh gelombang Islam maupun Komunis. Terbukti PNI, basisnya orang-orang Kejawen mengantongi suara terbesar dalam Pemilihan Umum di tingkat nasional (22,3 persen). Disusul oleh Masyumi (20,9 persen), NU, 18,4 persen dan PKI, 16,4 persen.

Akan tetapi suara perolehan nasional itu tidak mengubah dominasi politik NU di wilayah Pasuruan (61,0 persen). Oleh karena itu, meskipun kawan-kawan orang Tengger yang separtai (PNI) memenagkan suara di tingkat nasional, di tingkat lokal tetap saja suara mereka minoritas, apalagi bagi minoritas Tengger yang lebih berafiliasi ke PKI. Dominasi politik orang-orang NU di pasuruan ini, ditambah oleh “kebringasan” mereka dari sebagian kelompok militannya menjadi ancaman tersendiri bagi orang-orang Tengger. Isu-isu agama yang dilontarkan sebagian orang NU selanjutnya menjadi persoalan serius yang selalu mereka waspadai. Saudara-saudara mereka yang menganut Islam-Kejawen di daerah bawah dan tengah tak banyak menolong dalam memediasi persoalan ini. Menjadi minoritas baik dari segi agama maupun politik sepertinya sebuah dosa turunan, kelak dosa itu harus mereka tebus dengan pengorbanan nyawa.

Isu agama kembali menemukan bentuknya yang paling agresif menjelang tahun 1965. Roda politik yang memposisikan kelompok Komunis dan NU sebagai pemegang suara mayoritas menjadi awal bencana yang membawa preseden buruk bagi masa depan politik berikutnya. Isu kelas yang dimunculkan kalangan elite PKI dengan menggulirkan isu Landreform tidak menghasilkan buah sebagaimana diinginkan. Lawan-lawannya, dari kalangan Islam (NU maupun Masyumi) justru menafsirkan tantangan dari pihak Komunis itu sebagai perlawanan agama. Kampanye-kampanye agresif yang diletupkan kalangan PKI dengan menyerang sikap orang-orang Islam semakin memojokkan PKI sebagai common enemy. Bersamaan dengan itu perpecahan di tubuh militer semakin mengarahkan perkelahian antara partai menjadi perkelahian penuh banjir darah. PKI semakin terbuka untuk diserang dari berbagai arah, mengingat semua kepentingan menjurus (dijuruskan?) kedalam politik “kambing hitam”, dimana PKI harus menjadi korbannya.

Tengger yang sesungguhnya tidak mengerti persoalan antar elite politik itu harus menanggung getahnya. Penyapuan bersih orang-orang Komunis di seluruh Jawa Timur sampai pula ke daerah atas di Tengger. “Geger Tengger” menjadi saksi mata betapa tidak mudahnya menjadi kaum minoritas meskipun di negeri sendiri. Orang-orang yang semula begitu membenci Islam karena berbagai soal menjadi target pembersihan itu, tak peduli apakah ia berafiliasi ke PKI atau tidak. Orang-orang yang dulu dibenci sebagai elite urakan, karena ulahnya yang sedikit menyebalkan sebagian orang-orang Islam juga mudah disapu oleh aksi pembersihan itu. Pendeknya, pertikaian-pertikaian politik yang begitu kompleks menjelang tahun 1955 dan 1965, yang melibatkan persoalan agama, dendam pribadi, konflik elite begitu disederhanakan persoalannya menjadi Islam versus musuh Islam (dimana kategori musuh Islam selalu dijuruskan kepada kelompok Komunis).

Akhirnya yang lebih mengejutkan lagi, tragedi 1965 itu ternyata bukan saja menghapus semua memori bangsa Indonesia tentang Komunisme, melainkan semua kenangan politik yang diwarnai keramaian karena perkelahian dan persaingan politik menjelang tahun 1955, dan tahun 1965. Jika soalnya kita kembalikan kepada sinyalemen Stephan di atas, keterbukaan politik ternyata tak lekas menghasilkan gelombang demokratisasi. Itulah mengapa keterbukaan politik yang seperti ini perlu kita waspadai bersama. Jangan-jangan ia hanya muncul sesaat lalu digantikan oleh sebuah rezim yang relatif sama dengan gaya Orde Baru. Sebuah rezim yang oleh Daniel Dhakidae perwatakannya disebut bersifat Neo-Fasisme.

Celakanya kepongahan Neo-Fasisme Orde Baru itu, bukan saja menyeruak tampil dalam rezim militeristik yang keras dan haus darah, melainkan pula menelusup sebagai rezim pengetahuan (rezim kebenaran) yang direproduksi sebagai gagasan teoritik dan praktik wicara. Kenyataan ini terbentuk sebagai hasil dari kesuksesan Orde Baru. Dalam membangun kekuasaannya Orde Baru bukan saja menyapu bersih tindakan subversib masyarakat yang melawan negara, melainkan menyosialisasikan, mereproduksi pengetahuan-pengetahuan terpilih dan terseleksi sebagai gagasan sejarah, sosiologi, dan politik yang kemudian dianggap sebagai pengetahuan normal dalam pengajaran sekolah, dunia akademik dan dunia penelitian. Dalam konteks semacam ini Cendekiawan yang digambarkan oleh Daniel Dhakiadae dalam, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Orde Baru (Gramedia, 2003) bukan saja berada dalam ambivalensi menetukan derajat otonomi mereka berhadapan dengan kekuasaan negara, tapi (bahkan) masuk secara total menjadi bagian dari sistem kekuasaan itu sendiri.

Jika semua ini tidak menjadi perhatian masyarakat sipil di Indonesia, boleh jadi nasib euphoria politik ini berujung kepada kegagalan membangun demokrasi. Kegagalan ini sebaliknya bisa menjadi “mimpi buruk” bagi sebagian masyarakat, karena trauma politik kambing hitam di masa lalu bisa muncul dalam masa yang tidak bisa diduga-duga. Oleh karena itu, agaknya bukan persoalan yang teramat genting apakah partai politik kita nanti bertambah jumlahnya atau tidak. Yang krusial diwaspadai saat ini justru sejauh mana isu-isu politik yang dibangun saat ini turut menambah kualitas demokrasi itu; peningkatan good governace, system of balance, pemerataan ekonomi dan sebagainya.

makna sejarah Tengger seperti di atas tak pernah dipelajari secara seksama. Meskipun Dwight J. King juga pernah melukiskan sebegitu mirip persaingan politik dalam pemilu kemarin (1999) dengan Pemilu 1955 (dilihat dari perolehan suara yang dikaitkan dengan preferensi politik berdasarkan basis kultural), toh kita tak segera beranjak untuk mencari solusi supaya keramaian politik sebagaimana tahun 1955 itu tidak berujung pada kemacetan yang sama.

Dalam buku Geger Tengger karya Robert Hefner ini digambarkan sejarah tentang keadaan di Pegunungan Tengger, Kabupaten Pasuruan, sejak jaman kejayaan Hindu di Jawa sampai periode awal Orde Baru. Pada awal buku ini, Hefner menggambarkan eksistensi Hinduisme di Jawa  sampai dengan saat keruntuhannya. Yang ternyata tidak berpengaruh pada eksistensi Hinduisme Tengger. Selanjutnya Hefner menyoroti pasang surut ekonomi di Tengger akibat dari pergantian penguasa maupun politik, yang pada akhirnya membawa perubahan sosial budaya  di Tengger. Buku ini diakhiri dengan suatu konflik sosial politik walaupun unsur agama juga masuk dalam pertarungan ini. Bagi antropolog, buku ini memberikan suatu pandangan tentang agama dan politik di Indonesia sekaligus pencarian wacana civil society di bangsa yang beragam agamanya.

Petani gunung yang sederhana sulit dikatakan sebagai pewaris kejayaan Hindu Jawa, karena tidak mengenal kasta, tidak punya keraton, kesenian yang halus, dan kelas aristokrat. Pada akhir abad ke 19 setelah jalan-jalan mulai dibangun, interaksi antara masyarakat pegunungan dengan masyarakat di dataran rendah mulai intensif. Pedagang-pedagang (tani bakul) yang sering berinteraksi dengan masyarakat dataran rendah yang lebih Islami dan sedikit simpati terhadap adat istiadat masyarakat pegunungan mulai berdatangan seiring dengan jalur transportasi yang telah terbuka. Hal ini menjadi awal perubahan masyarakat pegunungan yang lebih Islam dan berjenjang.

Pegunungan Tengger yang berada di wilayah Pasuruan, pada masa Kerajaan Majapahit menjadi tempat penting dalam hal ritual agama Hindu. Ada beberapa analisis yang menyatakan kalau Tengger ini menjadi tempat pelarian orang-orang Hindu Majapahit ketika Islam mulai masuk ke Jawa. Perkembangan Islam yang terus intensif pada masa Mataram semakin menggeser kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur, sehingga orang-orang yang anti Mataram melarikan diri ke Tengger ini dengan membawa ideologi termasuk agamanya.

Kontak awal masyarakat Tengger dengan Belanda terjadi ketika penumpasan Trunajaya yang memberontak kepada Mataram dan mundur kearah Tengger ini. Sebelum datangnya Islam, Kerajaan Singasari didirikan diujung paling barat pegunungan Tengger sampai akhirnya mampu direbut Kediri, dan kemudian direbut kembali serta memindahkan keratonnya lebih ke barat dan dinamakan Majapahit. Pada masa selanjutnya muncul pemberontak baru di Mataram yang dipimpin oleh Surapati. Dia sempat mendirikan pusat kekuasaannya di Pasuruan sebelum akhirnya dapat dikalahkan pasukan Mataram bersama VOC.

Kerajaan Balambangan merupakan kerajaan Hindu terakhir di Jawa, Tengger dan Bali menjadi aliansinya yang anti Mataram Islam. Ketika Balambangan mampu diislamkan oleh Mataram, Hinduisme Jawa hanya terdapat pada masyarakat petani di Tengger. Selanjutnya penyerahan pantai utara Jawa ke VOC kompensasi atas penumpasan pemberontakan Mataram, membuat Pasuruan berada di bawah bayang-bayang kolonial. Pada awalnya Tengger menjadi lahan kolonial untuk menanam sayuran sebagai komoditas mereka dalam pemenuhan kebutuhan. Menjelang tanam paksa pada tahun 1828, kecamatan Tengger dihuni oleh duaribuan orang saja yang kebanyakan adalah orang Jawa Hindu.

Pembagunan jalur transportasi di Tengger telah membawa pengaruh besar begi perubahan masyarakatnya. Pembukaan lahan baru serta perdagangan telah menghubungkan antara wilayah atas dan wilayah bawah. Permintaan hasil pertanian di wilayah bawah dari wilayah atas menjadi salah satu penyebabnya. Penduduk Cina dan Eropa merupakan konsumen utama hasil sayur-sayuran dari wilayah atas. Pada tahun 1920an orang-orang Cina, Jawa, dan madura mulai membuka toko-toko di sekitar tengger. Masyarakat Tengger sedikit antipati terhadap mereka, dan hanya lebih toleran terhadap orang Cina daripada orang Jawa dan Madura.

Menurut Hefner, pegunungan Tengger telah berada di tengah-tengah revolusi perdagangan yang sesungguhnya, yang dibuka jalannya oleh kelas pedagang makmur baru. Ketika terjadi krisis ekonomi ditahun 1930an, pedagang di wilayah atas tidak begitu terpengaruh dan masih melanjutkan kegiatn ekonominya. Kepemilikan tanah dan ketenagakerjaan di Tengger sejak abad 19 dibentuk oleh sejumlah institusi. Pemerintah kolonial menguasainya dengan merubah ekonominya. Kebijakan Belanda dengan memindahkan banyak orang luar ke daerah Tengger dengan janji tanah pertanian, membentuk suatu wilayah pemerintahan. Penarikan paja tenaga kerja kepada pemilik tanah menjadi salah satu alasannya.

Pada masa pendudukan (penjajahan) Jepang, awalnya masyarakat pegunungan Tengger (khususnya) menerima kedatangan jepang dengan baik. Akan tetapi kemudian dengan kebijakan tentara Jepang yang semakin kejam membuat mereka menderita. Beban berat kerja paksa dan penanaman pohon Jarak yang ditanggung membuat banyak orang muda yang melarikan diri ke daerah bawah. Setelah merdeka terdapat sedikit kelegaan dan mulai bangkit kembali situasi ekonomi pegunungan.

Konflik politik yang terjadi di Jawa pasca jatuhnya orde lama dan PKI sarat akan kekerasan. Jawa Timur merupakan basis NU secara keseluruhan, dan Pasuruan menjadi basis paling kuat karena banyak pesantren yang didirikan di sana. PKI yang memang berhaluan kiri lebih dianggap sebagai ateis oleh kalangan NU maupun Masyumi. PNI yang lebih nasionalis ternyata juga penuh akan korupsi. NU yang sudah memisahkan diri dengan Masyumi sejak tahun 1950an menjadi kekuatan Islam yang besar di Jawa. Konflik ini diawali ketika berakhirnya orde lama dan diganti oleh orde baru dan hancurnya PKI di Indonesia. Orde baru melakukan pembersihan terhadap sisa-sisa PKI yang masih ada. Hal ini diikuti oleh organisasi muslim yang ada di Jawa Tengah, kemudian diikuti pula oleh pemuda Muslim Jawa Timur, Ansor, yang merupakan organisasi NU. Walaupun begitu sebagian besar organisasi Islam mendukung atas penyerangan dan pembunuhan orang-orang PKI ini.

Gerakan pembersihan PKI ini juga terjadi di Pasuruan, dan tersiar rumor bahwa golongan kejawen yang didukung oleh PNI juga akan diserang. Kelompok kejawen yang berada di lereng tengah pegunungan Tengger panik dan menunda segala upacara ritual pemujaan dhanyang, bahkan peminat Jumatan bertambah banyak. Hal itu dilakukan untuk menghindari kecurigaan orang dataran rendah (NU) agar tidak menyerang mereka. Tersiar kabar pula bahwa konflik yang terjadi adalah konflik agama, tetapi ternyata bahwa organisasi Muslim lebih memilih PKI sebagai sasarannya. PKI di daerah lereng atas yang Hindu malah cenderung sedikit, tokoh-tokoh PKI didominasi oleh para pedagang-pedagang yang berasal dari dataran rendah. PNI yang mendukung kejawen dan dimusuhi oleh NU, dimanfaatkan oleh NU untuk mendata tokoh-tokoh PKI karena PNI banyak anggotanya yang menjadi pamong desa. Kekerasan berdarah ini berlangsung beberpa pekan, walaupun memang yang melakukan organisasi Muslim khususnya NU akan tetapi dibalik semua itu peran militer dan polisi sangat besar.

Hefner secara khusus menjelaskan bahwa konflik berdarah ini adalah buatan dari penguasa negara. Hal itu juga bisa terlihat dari uraian di atas bahwa hanya PKI yang menjadi sasarannya sehingga tidak bisa dikatakan sebagai konflik agama. Akibat dari pertentangan politik (kepentingan penguasa tadi) membawa perubahan besar dalam masyarakat pegunungan Tengger. Di lereng atas orang-orang Hindu tidak dipaksa masuk Islam. Akan tetapi terdapat pembaharuan ritual dan doktrinal dalam konteks nasional sesuai dengan peraturan negara atas agama. Begitu juga di daerah lereng tengah, semakin berkurangnya kejawen dan meningkatnya kegiatan-kegiatan masjid.

  1. B.     Unsur Strukturis dalam Buku Geger Tengger Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik.

pendekatan strukturis bertujuan menampilkan realitas dalam bentuk causal factors yang tidak tertangkap oleh pancaindra. Fenomena-fenomena seperti pemberontakan, revolusi, perubahan sosial, dsb. dapat ditangkap melalui pancaindra, karena terkandung dalam sumber sejarah yang dapat dibaca dan dipelajari. Tetapi sebab-musababnya tidak muncul secara empiris dalam sumber sejarah, karena tersembunyi dalam struktur sosial yang unobservable itu. Secara teoritis terdapat interaksi antara manusia (individu atau kelompok) dan struktur sosial dimana mereka’ berasal. Maka untuk menampilkan causal factor yang unobservable itu seorang sejarawan yang mendapat datanya dari sumber sejarah harus menggunakannya untuk menganalisa struktur sosial agar dapat menampilkan interaksi antara manusia yang konkrit (observable) dan struktur sosial yang tidak kasat mata itu (unobservable).

Pengertian struktur sosial yang unobservable dalam pendekatan ini berasal dari sosiologi realis. Struktur sosial bukanlah kumpulan manusia yang kongkret (agregasi), tetapi suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat “emergence” berupa peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi, dan pemikiran (mentalite). Tetapi berbeda dengan sosiologi pada umumnya, menurut pendekatan strukturis, perubahan sosial tidak disebabkan oleh struktur sosial lainnya (kriminalitas yang meningkat disebabkan pengangguran yang meningkat), tetapi perubahan struktural justru disebabkan tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektfitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan pemikiran tertentu. Pendekatan strukturis bertujuan menjelaskan perubahan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern.

Pendekatan strukturis merupakan pendekatan yang seolah-olah menggabungkan antara hermenuetika dan struktur. Dalam pandangan lama beranggapan bahwa antara pendekatan hermenuetika dan struktural menunjukkan adanya dikhotomi. Hermenuetika tidak menampilkan struktur dan struktural tidak menampilkan aspek hermenuetika.

Penggunaan hermenuetika dalam metodolgi strukturis akan nampak manakala si peneliti ketika membaca sumber atau masuk terlibat ke dalam objek yang ditelitinya. Dalam kerja tersebut, peneliti akan melihat komponen “expressed intention” (pelaku dan pemikirannya, peristiwa) yang merupakan fenomena yang kasat mata, dapat ditangkap dengan pancaindera.Sedang struktur sosial merupakan “unobservable”, tidak dapat ditangkap dengan panacaindera. Struktur sosial hanya dapat ditemukan apabila si peneliti menggunakan teori. Si peneliti melakukan analisis, ketika menampilkan hingga struktur sosial yang tidak kasat mata (ubobservable). Dengan demikian aspek peristiwa dengan struktur sosial dalam metodologi strukturis menunjukkan adanya hubungan dualisme simbiosis.

Dalam metodologi strukturis , peristiwa dan struktur sosial tidak bersifat dikotomik tetapi merupakan suatu dualisme simbiotik yang berdialektika. Maksudnya, peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur sosial, sedangkan struktur sosial mengandung hambatan atau dorongan bagi tindakan perubahan itu. Pengertian Struktur sosial yang unobservable dalam pendekatan ini  bukanlah kumpulan manusia yang kongkret (agregasi), tetapi suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat “emergence” berupa peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi dan pemikiran (mentalite). Menurut pendekatan strukturis , perubahan sosial tidak disebabkan struktur sosial lainnya tetapi perubahan struktural justru disebabkan tindakan-tindakan konkret dan observable dari manusia (individu atau kolektifitas) disebut (agency) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan pemikiran tertentu. Manusia dilahirkan dalam struktur sosial tertentu dan memiliki kemampuan untuk memproduksi atau mentransformasi struktur sosial dimana ia berasal. (Llyod  1993; 38-40). Perubahan (struktur )sosial adalah tujuan utama dari metodologi strukturis.

Dalam buku Geger Tengger karya Robert Hefner ini digambarkan sejarah tentang keadaan di Pegunungan Tengger, Kabupaten Pasuruan, sejak jaman kejayaan Hindu di Jawa sampai periode awal Orde Baru. Pada awal buku ini, Hefner menggambarkan eksistensi Hinduisme di Jawa  sampai dengan saat keruntuhannya. Yang ternyata tidak berpengaruh pada eksistensi Hinduisme Tengger. Selanjutnya Hefner menyoroti pasang surut ekonomi di Tengger akibat dari pergantian penguasa maupun politik, yang pada akhirnya membawa perubahan sosial budaya  di Tengger. Buku ini diakhiri dengan suatu konflik sosial politik walaupun unsur agama juga masuk dalam pertarungan ini. Bagi antropolog, buku ini memberikan suatu pandangan tentang agama dan politik di Indonesia sekaligus pencarian wacana civil society di bangsa yang beragam agamanya.

Dalam buku ini Hefner menjelaskan bagaimana terjadi proses terjadinya perubahan sosial di pegunungan Tengger, terutama stratifikasi yang semakin mencolok antara petani kaya dan petani miskin. Digambarkan pula pada tahun 1960-an, petani pegunungan mengalami kemandegan dan krisis, akibat dari kebijaksanaan yang datang dari luar serta merosotnya keadaan ekologis, bukan karena irasionalitas petani atau watak tradisional yang pekat. Pada tahun 1970-an revolusi hijau yang digalakan pemerintah dapat meningkatkan produktifitas, namun tidak dapat menghentikan erosi yang terjadi di pegunungan. Jadi, selain terdapat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat Tengger, perubahan juga terjadi pada keadaan alam di pegunungan Tengger.

Hefner secara khusus menjelaskan bahwa konflik berdarah ini adalah buatan dari penguasa negara. Hal itu juga bisa terlihat dari uraian di atas bahwa hanya PKI yang menjadi sasarannya sehingga tidak bisa dikatakan sebagai konflik agama. Akibat dari pertentangan politik (kepentingan penguasa tadi) membawa perubahan besar dalam masyarakat pegunungan Tengger. Di lereng atas orang-orang Hindu tidak dipaksa masuk Islam. Akan tetapi terdapat pembaharuan ritual dan doktrinal dalam konteks nasional sesuai dengan peraturan negara atas agama. Begitu juga di daerah lereng tengah, semakin berkurangnya kejawen dan meningkatnya kegiatan-kegiatan masjid.

Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu benang merah tentang unsur strukturis dari buku ini. Dimana perubahan sosial yang terjadi tidak terbentuk dalam waktu yang singkat tetapi sudah terbentuk dari waktu ke waktu mulai dari zaman pra colonial sampai zaman Orde Baru. Selain itu perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat tengger terjadi karena orang-orang tengger terdesak yang mayoritas beragama Hindu-Budha oleh masyarakat yang beragama Islam. Sehingga perubahan sosial disni disebabkan oleh kelompok masyarakat bukan oleh individu, dari sini sangat jelas terdapat pendekatan unsur strukturis yang digunakan oleh penulis.

 

III. PENUTUP

  1. A.    Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa struktur sosial memiliki kemampuan untuk mengubah struktur sosial di mana ia berasal. Di sinilah strukturisme meneguhkan peranan peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur sosial, sedangkan struktur sosial mengandung hambatan atau dorongan bagi tindakan perubahan itu. Selain itu dalam metodologi ini ada tahapan deskripsi, terutama yang menyangkut fenomena atau peristiwa, dan ada tahapan analisis yang menyangkut struktur sosial, serta penentuan mekanisme kausalitas yang menjelaskan perubahan itu. Struktur sosial di sini bisa berupa norma-norma, peran-peran, interaksi-interaksi yang muncul dari tindakan-tindakan dan pemikiran manusia. Manusia dilahirkan dalam individu sebagai faktor determinan dalam mentransformasi dan mereproduksi perubahan struktur sosial. Individu (atau sekelompok individu) inilah yang kemudian disebut sebagai ‘agent of change’.

REFERENSI:

Hefner, Robert William. 1999. Geger Tengger  Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik.

Angkersmit.  Refleksi Tentang Sejarah . Pendapat-Pendapat Modern tentang Fisafat Sejarah. Terj. Jakarta: Penerbit Gramedia. 1987

Tinggalkan komentar