KUASA STIGMA DAN REPRESI INGATAN
Buku karangan Tri Guntur Narwaya yang berjudul ‘Kuasa, Stigma dan Represi Ingatan’ ini memberikan gambaran kepada pembacanya akan sebuah fenomena yang muncul dari adanya suatu dominasi kekuasaan. Dalam hal ini bagaimana kekuasaan akan menbentuk suatu stigma dalam masyarakat Indonesia terhadap peristiwa dan korban peristiwa 1965/1966.
‘Kuasa, Stigma dan Represi Ingatan’ mencoba mengajak pembaca untuk mengingat kembali peristiwa 1965/1966 yang pernah menjadi salah satu urgensi dalam perpolitikan Indonesia. Peristiwa itu menorehkan premis umum tentang kebiadaban komunis yang dikisahkan sebagai perancang dan pelaksana kudeta berdarah atas otoritas kekuasaan yang sah, yaitu kekuasaan Soekarno. Peristiwa yang dikenal masyarakat dilaksanakan di Lubang Buaya menjadi salah satu kurun sejarah dengan ketegangan politik yang luar biasa, dan dapat dikatakan menjadi sisi teramat gelap.
Dalam penulisan buku ini, penulis memiliki beberapa gagasan besar untuk mengkaji stigma terhadap korban peristiwa 1965/1966 dan berbagai kepentingan dibalik stigmatisasi tersebut. Pertama, masalah stigma dalam perspektif politik ingatan yang didasarkan pada cara kerja ideologi. Kedua, usaha stigmatisasi dan pelanggengan wacana anti komunis dan masih bertahan kuatnya stigma tersebut di dalam masyarakat. Sedangkan gagasan ketiga untuk melihat stigma itu diinterpretasikan dan direinterpretasikan oleh korban peristiwa 1965/1966 dalam interaksi keseharian sosial mereka.
Gagasan pertama penulisan buku ini adalah untuk menganalisis masalah stigma dalam perspektif politik ingatan yang didasarkan pada cara kerja ideologi. Melihat prinsip dasar cara kerja ideologi dalam relasinya untuk membangun kekuasaan melaui penciptaan lambang dan simbol. Kajiannya memfokuskan pada analisis praktis diskursif yang melibatkan analisis ideologi, kekuasaan dan kajian tentang seting sosial-historis tertentu. Untuk menganalisis kerja ideologi, penulis meminjam konsep pemikiran John B Thompson. Mekanisme sebaran dan penanaman ideologi oleh Orde Baru dibongkar dengan sasaran untuk mengetahui stigmatisasi atas para korban, terutama PKI dan komunisme. Jadi, kerja tafsiran ada dalam pelbagai tahap dan memerlukan kejelian.
Menurut Erving Goffman, stigmatisasi merupakan gambaran adanya sikap, perilaku atau sistem yang tidak memberi ruang adanya perbedaan. Sedangkan Coleman memberikan uraian bahwa stigma merupakan bentuk penghakiman nilai dari kelompok yang dominan, yaitu mereka yang mempunyai kuasa di dalam konteks kultur tertentu terhadap mereka yang tidak diinginkan. Dalam pandangan Coleman terdapat tiga variabel penting yang menjadi penyebab munculnya stigmatisasi, yaitu adanya ketakutan, meniru dan ketatnya pengawasan. Dengan adanya ketakutan dan pengawasan yang ketat menjadikan masyarakat cenderung tunduk kepada kuasa.
Cara kerja ideologi akan membangun kekuasaan. Berdasarkan pada pemikiran Thompson bahwa konsep ideologi menunjukkan pengertian sebagai usaha mobilisasi makna yang terdapat dalam bentuk simbol untuk membangun dan mempertahankan relasi dominasi. Konsepsi Thompson berkaitan erat dengan aspek tinjauan komunikasi dan bahasa. Titik prinsipnya adalah studi tentang kecenderungan makna membangun dan mempertahankan relasi dominasi. Thompson tidak sekedar membaca karakter ideologi yang berangkat pada struktur internal pesan, melainkan merujuk pada konteks sosial historis tertentu yang mendasari produksi, penyebaran dan penerimaan pesan tesebut. sedangkan Jun Honna memandang wacana anti-komunis merupakan alat ideologis dari kuasa tertentu. Dalam hal ini militer sangat berkepentingan dalam pewacanaan narasi anti komunis. Melalui inilah kekuasaaan dan militer tetap dapat mempertahankan eksisitensinya.
Salah satu karakteristik kerja ideologi adalah sejauh mana ia mampu mempertahankan relasi dominasi baik dalam tingkatan struktural maupun budaya. Relasi dominasi ini bisa terjadi dalam pembentukan wacana-wacana mainstream utama dalam masyarakat. Cara kerja ideologi digunakan untuk melihat berbagai strategi yang digunakan untuk membangun dan melanggengkan relasi dominasi. Ada beberapa cara yang bisa menjadi model dalam menjelaskan fenomena tersebut, yaitu legitimasi, penipuan, unifikasi, fragmentasi dan reifikasi.
Cara kerja yang pertama melalui legitimasi, yaitu memberi pengertian bahwa ia hadir dan dimunculkan melalui kepatuhan dan kelayakan dukungan. Relasi dominasi memiliki legitimasi apabila mengandung pengertian dan klaim legitimasi. Kuatnya penerimaan akan makna simbol ditentukan seberapa jauh simbol sudah dianggap sebagai kebenaran yang absah. Ia dapat dibangun dan dipelihara melaui cara penipuan. Melalui cara kerja ideologi yang kedua, makna bisa disembunyikan, diingkari dan dikaburkan atau dihadirkan dengan mengalihkan perhatian. Modus kedua ini untuk menggiring kesadaran dan penerimaan kebenaran pada makna lain yang dianggap benar oleh yang berkepentingan membangun makna.
Kecenderungan modus kerja ideologi ketiga adalah unifikasi, yaitu berangkat dari pemikiran bahwa relasi dominasi dapat dibangun dan dilestarikan dengan cara mengkonstruksi tataran simbol dalam bentuk penyatuan yang membawahi individu-individu dalam atau kesatuan identitas kolektif serta mentolerir perbedaan-perbedaan. Dengan mengikat individu secara bersama serta menolak perbedaan dan pertentangan, cara kerja unifikasi dapat diarahkan untuk membangun dan melestarikan penyeragaman relasi dominasi. Kecenderungan keempat untuk melestarikan relasi dominasi melalui fragmentasi, yaitu tidak dengan menyatukan individu-individu dalam kolektivitas, tetapi dengan mengotak-kotakkan individu dan kelompk tersebut yang mungkin dianggap memiliki kekuatan untuk menentang dominasi yang ada. Cara kerja ideologi yang kelima yaitu reifikasi. relasi dominasi dapat dibangun dan dilestarikan dengan menunjukkan kesementaraan hubungan kesejarahan yang telah dianggap permanen, natural dan abadi. Dengan demikian ia akan menghapuskan konteks sosial historisnya. Sesuatu telah dianggap stagnan, mapan dan dianggap sebagai keniscayaan dan kelaziman.
Gagasan selanjutnya penulis berusaha untuk mengeksplorasi faktor sosio historis mengapa stigmatisasi dan pengawetan anti-komunis masih menguat dalam interaksi masyarakat. Melaui cara kerja ideologi tersebut pemerintahan Orde Baru berusaha untuk menciptakan dan melanggengkan stigma terhadap korban peristiwa 1965. Penulis ingin membantu memberi gambaran tentang proses cara kerja stigmatisasi menyangkut produksi, reproduksi, transmisi dan resepsi simbol yang dialami korban atas tuduhan langsung atau tidak langsung dalam peristiwa G30S.
Pada tahapan tertentu, stigmatisasi bisa dilihat sebagai satu mekanisme ideologi yang cerdik membangun disiplin dan kontrol pada para korban. Pemaknaan ideologi dalam buku ini menggunakan simbol dan bentuk untuk menganalisa. Urgensi yang ingin ditangkap penulis adalah melihat bagaimana masyarakat menggunakan simbol-simbol tersebut dalam interaksinya dengan masyarakat yang lain. Riset tentang stigmatisasi korban merupakan kajian tentang bagaimana simbol dan makna komunisme diproduksi dan kemudian ditransmisikan kepada subjek korban. Kajiannya untuk memahami bagaimana stigma dipahami, diinterpretasikan dan direinterpretasikan oleh korban dalam interakasi kehidupan sosial mereka.
Dalam stigma terhadap komunis dan orang-orang yang berhubungan dengan ideologi komunis dianggap merupakan sesuatu yang jahat, tidak bermoral dan tidak bertuhan. Sehingga memunculkan diskursus komunis anti demokrasi, komunis pemecah belah bangsa. Disini terlihat sekali bahwa komunis dicurigai mengganggu tatanan kolektif yang sudah mapan. Secara singkat stigmatisasi dan label negatif yang ada digunakan untuk pembunuhan karakter. Komunis dianggap sebagai identitas lain yang menyimpang sekaligus berbahaya. Berbahaya karena komunis selalu dilawankan dengan demokrasi, kerukunan, kedamaian, keharmonisan dan juga stabilisasi. Komunis menjadi satu-satunya kekuasaan yang patut untuk dipersalahkan. Di bawah kekuasaan Soeharto, antikomunis menjelma menjadi senjata ampuh.
Peristiwa 1965/1966 tersebut dijadikan langkah awal untuk memunculkan stigma dan pelabelan negatif kepada para korban. Langkah awal dalam kerjanya dilakukan melalui pembersihan. Yang pertama dilakukan operasi pembersihan tanpa prosedur normal yang dilakukan oleh pihak militer dengan memobilisir organisasi-organisasi paramiliter yang bernaung di bawah partai-partai politik atau kelompok adat. Kedua dilakukan secara formal dengan terus menerus disuarakan dan diumumkan dalam setiap pertemuan resmi pemerintahan.
Untuk menciptakan sebuah stigma pemerintah menggunakan penyeragaman wacana dan kontrol Negara. Masyarakat harus menerima pemaparan sejarah yang seragam. Hal ini tidak akan pernah terlepas dari adanya dominasi kekuasaan. Dominasi kekuasaan minoritas terhadap mayoritas akan terus melanggengkan stigmatisasi yang sudah tertanam dalam represi ingatan masyarakat.
Penyeragaman wacana dilakukan melalui propaganda media, baik koran, radio maupun film. Setelah peristiwa 1965/1966 semua media massa dibredel, kecuali berita ‘Berita Yudha’ dan ‘Angkatan Bersenjata’ sebagai media yang dikeluarkan oleh Angkatan Darat. Baik ‘Berita Yudha’ maupun ‘Angkatan Bersenjata’ menguatkan bahwa PKI merupakan dalang dan pelaku peristiwa 1965 dan terus menjadikan PKI sebagai kambing hitam. Apa yang diberitakan dua media yang berada di bawah kontrol kekuasaan Negara itu memiliki dalih kepentingan untuk menjaga stabilitas kekuasaan Negara.
Untuk melanggengkan kekuasaan tersebut pemerintahah Orde Baru menciptakan sebuah rezim totalitarisme. Propaganda dan teror menjadi hal yang wajar dalam hal ini. Keduanya merupakan dua sisi yang saling melengkapi. Ketika totalitarisme memiliki kontrol yang mutlak, maka propaganda diganti dengan indoktrinasi dan pengabsahan kekerasan. Kekerasan dipakai bukan hanya untuk menakut-nakuti orang, melainkan sekaligus untuk terus menerus membuat setiap orang melaksanakan ajaran-ajaran ideologi dan mengumbar kebohongan-kebohongan praktis. Karakteristik propaganda totaliter mengandung kebohongan besar namun memiliki sifat ilmiah seperti metode iklan, mengandung kekerasan dalam membesar-besarkan imajinasi dan impian liar tentang dominasi. Selain itu membungkam kemungkinan argumen ilmiah atau menolak cara berfikir kritis, menafikan hal-hal yang bersifat baru, termasuk sesuatu yang betentangan dengan ideologi totaliter. Dan menghadirkan pemimpin sebagai sosok yang tidak pernah salah dan sukses dalam memprediksi kekuatan. Karakteristik yang terakhir bahwa rezim totaliter mampu untuk mengasingkan massa dari dunia nyata.
Kondisi seperti ini sering dipraktekkan untuk mendesain hegemoni politik dan dominasi kelas. namun demikian penulis tidak memfokuskan pada hegemoni tetapi lebih cenderung pada dominasi. Hal ini disebabkan ketaatan yang diungkan oleh Gramsci sebagai sebuah ketaatan pengutahuan dimana secara moral korban rela dan mau ikut dalam kehendak behasa penguasa tanpa harus melalui penindasan fisik. sedangkan dalam konteks masalah ini usaha dominasi dilakukan melalui kekerasan fisik.
Otoritarianisme dengan ketatnya dominasi wacana digemari oleh rezim siapapun yang sedang memegang kekuasaan. pola ini menjadi mesin berangus yang sangat efektif. Sehingga selama Orde Baru, sejarah nasional lebih merupakan representasi sejarah militer. Militer berkuasa penuh untuk menentukan gambaran dan ingatan masa lalu. Sejarah versi militer dititikkan melalui berbagai media baik monumen, diorama, buku sejarah, hari-hari peringatan dan berbagai wujud media lainnya. Dalam banyak dimensi, terjadi apa yang sering disebut militerisasi sejarah, dimana ortoritas untuk mendefinisikan apapun tentang Indonesia ada pada tangan militer.
Beberapa langkah yang dilakukan pemerintah terkait dengan para korban diantaranya menyebutkan sebagian kecil dari aturan-aturan tersebut, antara lain :
- Keharusan mencantumkan kode ET ( Eks Tapol ) pada Kartu Tanda Penduduk. Pencantuman kode ET ini menyebabkan dihambatnya yang bersangkutan mencari pekerjaan dan semua pasar kerja akan takut menerimanya.
- Melakukan pembatasan pekerjaan bagi mereka untuk menjadi dosen/guru, wartawan, lembaga bantuan hukum, pendeta dan sebagainya yang tidak diperinci sehingga sangat elastis.
- Mencegah mereka memasuki kegiatan kemasyarakatan yang dianggap mungkin menimbulkan kerawanan di bidang sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya dan KAMTIBMAS.
- Untuk bepergian meninggalkan kelurahan /desa tempat domisili lebih dari 7 hari, harus dengan ijin khusus. Warga negara biasa tidak memerlukan hal tersebut.
- Untuk bepergian ke luar negeri atau melakukan ibadah haji, harus memiliki konduite baik dan ada jaminan tertulis dari seorang/instansi yang dapat dipertanggung jawabkan bahwa yang bersangkitan akan kembali ke daerah domisili semula, serta telah mendapat santiaji dari pejabat atau petugas setempat.
Penumpasan dan pemenjaraan didukung dengan keputusan politik pemberangusan beberapa surat kabar baik nasional maupun lokal nyaris tanpa perlawanan. Seluruh media masa yang digunakan oleh PKI akhirnya dihentikan dan ditutup karena dianggap menjadi media propaganda dalam menyebarkan faham komunisme di Indonesia sejak awal Oktober 1965.
Stigmatisasi yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru berhasil menanamkan pencintraan yang begitu kuat terjadap PKI. walaupun episode arogansi Orde Baru secara politik berakhir, tetapi model sebaran dan internalisasi stigma atas peristiwa 1965/1966 masih mengendap dalam diri masyarakat. Stigma seolah akan diabadikan. Segala bentuk penghitaman disahkan melalui represi ingatan. Politik-militer dijadikan sumber untuk memunculkan pendefinisian pelaku, korban, dalang atau pahlawan. Peristiwa 1965/1966 mirip pementasan teater. Jadi, perhitungan tokoh, alur, konflik atau latar memang sengaja ditampilkan pemilik otoritas tertinggi atas nama dominasi kekuasaan. Orde Baru berhasil memanipulasi teater sejarah itu dengan menakjubkan sekaligus mengenaskan.
Untuk membangun sandaran keabsahan dan dukungan dalam pembentukan gerakan anti komunis, Soeharto tidak tanggung-tanggung membangun pelibatan besar-besaran beberapa kelompok partai, kelompok agama, kelompok pemuda, mahasiswa dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang tergabung dalam gerakan anti-komunis. Tidak hanya korban yang terlibat langsung, masyarakat di luar yang sama sekali tidak berkaitan dengan target dari politik pelabelan. Ketika stigma disebar, masyarakat akan cenderung dihadapkan pada dua pilihan. Pertama apakah masyarakat di luar korban menyetujui dan membenarkan apa yang terkandung dalam makna stigmatisasi atau sebaliknya pada kecenderungan kedua di mana masyarakat justru menolak dan memberi bacaan yang tidak sama dengan apa yang dikehendaki oleh kekuasaan. Kepatuhan untuk menerima atau menolak adalah ruang interpretasi yang tidak terkecuali juga menimpa keseluruhan mesyarakat di luar korban.
Sekali lagi segala sesuatu yang dibentuk tersebut digunakan sebagai sarana untuk legitimasi. Legitimasi masa kini sangat ditentukan oleh bagaimana masa lalu dikonstruksi sehingga terbentang kesejarahan yang saling mendukung. Sedikitnya ada dua cara pengendalian narasi dalam sejarah yang berkait dengan modus kerja narativasi dalam ideologi. Pertama dengan penambahan unsur-unsur tertentu dalam sejarah. Praktik ini bisa dilakukan dengan pembuatan dokumen, buku sejarah ataupun film yang mengisahkan keberhasilan, kejayaan dan tentu saja mitos-mitos yang menyertainya. Kedua dilakukan dengan kebisuan sejarah. praktik ini sangat berkait dengan pembangunan legitimasi. Sejarah yang bisa diakui benar hanyalah narasi sejarah yang disusun oleh institusi resmi yang ditunjuk Negara.
Gagasan selanjutnya tentang bagaimana stigma tersebut diinterpretasikan dan direinterpretasi oleh para korban dalam kehidupan keseharian mereka. Peristiwa 1965/1966 telah membalik kehidupan para korban.
Peristiwa 1965/1966 sudah lama terjadi dan banyak hal yang tidak diketahui secara langsung oleh generasi sekarang, namun wacana anti komunis terus bertahan. Penulis berusaha untuk mendekonstruksikan kembali stigma terhadap korban peristiwa 1965/1966. Bagaimana rehabilitasi korban agar dapat berinteraksi sesuai dengan forumnya dan mendapatkan perlakuan yang layak dalam segala aspek kehidupan, baik lingkungan masyarakat maupun yang berhubungan dengan tata kehidupan bernegara. Penulis terinspirasi untuk membangun perspektif baru atas kegelisahan dan masalah korban.
Menampilkan suara korban menjadi bagian yang penting untuk merekonstruksi kembali kebenaran sejarah yang telah lama dikaburkan. Tutur korban merupakan kesaksian yang membawa dimensi harapan baru. Tutur korban menjadi landasan epistemologi untuk merekonstruksi kembali realitas kebenaran. Interpertasi korban terhadap stigma ini ternyata berbeda-beda. Cara yang dilakukan oleh mereka yang masih terkena dampak politik stigma, pertama-tama adalah membangun integrasi dengan komunitas sosial yang lain. Dengan kebersatuan dengan komunitas masyarakat yang lain, maka perasaan dan anggapan sebagai komunitas yang terisolasi bisa perlahan dihilangkan. Mereka berharap bisa diterima dan menjadi bagian utuh masyarakat yang berjalan.
Sementara ada beberapa komentar dan tanggapan lain yang menggambarkan wujud ungkapan penolakan dan resistensi terhadap sistem sosial, politik budaya yang saat ini dihadapkan oleh korban. Resistensi ini ditunjukkan dengan berbagai ekspresi bentuk perlawanan terhadap hegemoni sosial yang mengenai mereka. Mereka juga menunjukkan sikap bersebrangan dengan seluruh sistem Negara yang diskriminatif. Ketika korban telah memahami bahwa apa yang distigmakan saat ini adalah sebuah penipuan dan kebohongan besar, maka baginya yang terpenting bukan pada pelurusan stigma itu harus dilakukan atau tidak, tetapi melakukan aktifitas dan perbuatan yang baik bagi masyarakat menjadi sesuatu yang lebih berarti.
Pilihan korban menghadapi stigma, yang pertama dengan adanya kecenderungan untuk terlibat dan masuk dalam komunitas-komunitas sosial tertentu termasuk mengintegrasikan diri pada komunitas agama tertentu. Peristiwa 1965/1966 dan akibat yang ditimbukan sangat berpengaruh terhadap cara kerja korban mengintegrasikan dengan pola politik, sosial dan budaya masyarakat. Pilihan masuk dalam komunitas agama merupakan bentuk representasi terhadap kebutuhan berlindung diri dari tuduhan ateis.
Kecenderungan kedua, para korban membatasi dan meninggalkan aktifitas –aktifitas politik bentuk integrasi ataupun resistensi yang dilakukan korban peristiwa 1965/1966 untuk menghadapi ruang dan setting politik Indonesia. Selain itu cara ketiga dalam menghadapi stigma tesebut adanya antusias dan keinginan korban untuk berintegrasi dalam komunitas atau paguyuban-paguyuban korban. Untuk jangka panjang, hal ini digunakan untuk menghapus rasa takut dan trauma yang dialami. Pembentukan komunitas atau paguyuban ini sebagai warga Negara yang selama ini dilanggar.
Namun tidak sedikit pula korban yang memilih cara diam untuk menyikapi stigma. Mereka diam dan membatasi diri dari segala bentuk simbol yang mengingatkan mereka kembali pada satu entitas politik ideologi tertentu. Maka wajar dalam situasi represif kekuasaan Negara, para korban akhirnnya merubah cara pembahasan dan tutur kata mereka. Mereka sering menghilangkan ciri-ciri bahasa yang bisa mencirikan karakteristik ideologi para korban. Selain itu tidak jarang pula yang merubah nama mereka sebagai penyamaran identitas mereka. Hal ini dikarenakan nama-nama korban telah terdaftar dalam catatan Negara.
Penulis berusaha untuk menyingkap cara dan bagaimana makna dikonstruksi dan dibawa ke dalam dunia sosial yang berpengaruh dari simbol-simbol yang telah diproduksi, ditransmisikan, diresepsi serta dipahami dalam kehidupan keseharian korban. Poin pentingnya terletak pada bagaimana subjek korban menginterpretasikan dan mereinterpretasikan berbagai wacana dan simbol yang hadir.
Gagasan penulis ini juga merupakan salah satu upaya untuk pelurusan sejarah. Penulis berani mengangkat dan mengkonfrontasikan episode-episode dalam sejarah suatu bangsa, sebagai cara untuk meluruskan catatan sejarah dan menyembuhkan luka-luka politis dan moral yang terjadi di masa lalu. Mengangkat kembali hak para korban demi membangun relasi hidup yang lebih baik. Tantangan pelurusan sejarah tidak terletak pada masalah perebutan ‘kebenaran’, melainkan ada dalam maksud kepentingan ‘kebenaran sejarah’ yang lebih hakiki. Utopia kebenaran sejarah adalah rumusan harapan yang masih penuh multitafsir dan multi kepentingan. Multitafsir justru mengartikan bahwa masih ada kemungkinan ruang yang bisa diambil dan diperjuangkan.
Gagasan etis penulis berangkat atas kebutuhan penting untuk mengangkat wajah sejarah lebih manusiawi. Kebenaran sejarah yang bisa dimengerti bukan semata kumpulan data-data, melainkan pemahaman sejarah yang lebih relasional, historis dan kontekstual. Pelurusan sejarah yang sanggup mendekatkan kebenaran tidak semata pada ‘pengetahuan’ melainkan ‘peghayatan batin’ subjek sejarah. Penulis mencoba mengemukakan persepsinya dengan menggunakan pendekatan yang baru, yaitu hermeunitika mendalam. Pandangannya menekankan pada pembacaan komunikasi bagaimana stigma itu bisa tumbuh dan berjalan baik dalam aspek produksi, reproduksi dan resepsi di tengah masyarat.
Bahan Rujukan
Narwaya, Tri Guntur . 2010. Kuasa Stigma dan Represi Ingatan. Yogyakarta: Resist Book.
Simon, Roger. 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pusta Pelajar dan Insist Press.
Sugiharto, I Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.