Archive for the ‘Uncategorized’ Category

HISTORIOGRAFI

Posted: Juni 27, 2012 in Uncategorized

KUASA STIGMA DAN REPRESI INGATAN

Buku karangan Tri Guntur Narwaya yang berjudul ‘Kuasa, Stigma dan Represi Ingatan’ ini memberikan gambaran kepada pembacanya akan sebuah fenomena yang muncul dari adanya suatu dominasi kekuasaan. Dalam hal ini bagaimana kekuasaan akan menbentuk suatu stigma dalam masyarakat Indonesia terhadap peristiwa dan korban peristiwa 1965/1966.

‘Kuasa, Stigma dan Represi Ingatan’ mencoba mengajak pembaca untuk mengingat kembali peristiwa 1965/1966 yang pernah menjadi salah satu urgensi dalam perpolitikan Indonesia. Peristiwa itu menorehkan premis umum tentang kebiadaban komunis yang dikisahkan sebagai perancang dan pelaksana kudeta berdarah atas otoritas kekuasaan yang sah, yaitu kekuasaan Soekarno. Peristiwa yang dikenal masyarakat dilaksanakan di Lubang Buaya menjadi salah satu kurun sejarah dengan ketegangan politik yang luar biasa, dan dapat dikatakan menjadi sisi teramat gelap.

Dalam penulisan buku ini, penulis memiliki beberapa gagasan besar untuk mengkaji stigma terhadap korban peristiwa 1965/1966 dan berbagai kepentingan dibalik stigmatisasi tersebut. Pertama, masalah stigma dalam perspektif politik ingatan yang didasarkan pada cara kerja ideologi. Kedua, usaha stigmatisasi dan pelanggengan wacana anti komunis dan masih bertahan kuatnya stigma tersebut di dalam masyarakat. Sedangkan gagasan ketiga untuk melihat stigma itu diinterpretasikan dan direinterpretasikan oleh korban peristiwa 1965/1966 dalam interaksi keseharian sosial mereka.

Gagasan pertama penulisan buku ini adalah untuk menganalisis masalah stigma dalam perspektif politik ingatan yang didasarkan pada cara kerja ideologi. Melihat prinsip dasar cara kerja ideologi dalam relasinya untuk membangun kekuasaan melaui penciptaan lambang dan simbol. Kajiannya memfokuskan pada analisis praktis diskursif yang melibatkan analisis ideologi, kekuasaan dan kajian tentang seting sosial-historis tertentu. Untuk menganalisis kerja ideologi, penulis meminjam konsep pemikiran John B Thompson. Mekanisme sebaran dan penanaman ideologi oleh Orde Baru dibongkar dengan sasaran untuk mengetahui stigmatisasi atas para korban, terutama PKI dan komunisme. Jadi, kerja tafsiran ada dalam pelbagai tahap dan memerlukan kejelian.

Menurut Erving Goffman, stigmatisasi merupakan gambaran adanya sikap, perilaku atau sistem yang tidak memberi ruang adanya perbedaan. Sedangkan Coleman memberikan uraian bahwa stigma merupakan bentuk penghakiman nilai dari kelompok yang dominan, yaitu mereka yang mempunyai kuasa di dalam konteks kultur tertentu terhadap mereka yang tidak diinginkan. Dalam pandangan Coleman terdapat tiga variabel penting yang menjadi penyebab munculnya stigmatisasi, yaitu adanya ketakutan, meniru dan ketatnya pengawasan. Dengan adanya ketakutan dan pengawasan yang ketat menjadikan masyarakat cenderung tunduk kepada kuasa.

Cara kerja ideologi akan membangun kekuasaan. Berdasarkan pada pemikiran Thompson bahwa konsep ideologi menunjukkan pengertian sebagai usaha mobilisasi makna yang terdapat dalam bentuk simbol untuk membangun dan mempertahankan relasi dominasi. Konsepsi Thompson berkaitan erat dengan aspek tinjauan komunikasi dan bahasa. Titik prinsipnya adalah studi tentang kecenderungan makna membangun dan mempertahankan relasi dominasi. Thompson tidak sekedar membaca karakter ideologi yang berangkat pada struktur internal pesan, melainkan merujuk pada konteks sosial historis tertentu yang mendasari produksi, penyebaran dan penerimaan pesan tesebut. sedangkan Jun Honna memandang wacana anti-komunis merupakan alat ideologis dari kuasa tertentu. Dalam hal ini militer sangat berkepentingan dalam pewacanaan narasi anti komunis. Melalui inilah kekuasaaan dan militer tetap dapat mempertahankan eksisitensinya.

Salah satu karakteristik kerja ideologi adalah sejauh mana ia mampu mempertahankan relasi dominasi baik dalam tingkatan struktural maupun budaya. Relasi dominasi ini bisa terjadi dalam pembentukan wacana-wacana mainstream utama dalam masyarakat. Cara kerja ideologi digunakan untuk melihat berbagai strategi yang digunakan untuk membangun dan melanggengkan relasi dominasi. Ada beberapa cara yang bisa menjadi model dalam menjelaskan fenomena tersebut, yaitu legitimasi, penipuan, unifikasi, fragmentasi dan reifikasi.

Cara kerja yang pertama melalui legitimasi, yaitu memberi pengertian bahwa ia hadir dan dimunculkan melalui kepatuhan dan kelayakan dukungan. Relasi dominasi memiliki legitimasi apabila mengandung pengertian dan klaim legitimasi. Kuatnya penerimaan akan makna simbol ditentukan seberapa jauh simbol sudah dianggap sebagai kebenaran yang absah. Ia dapat dibangun dan dipelihara melaui cara penipuan. Melalui cara kerja ideologi yang kedua, makna bisa disembunyikan, diingkari dan dikaburkan atau dihadirkan dengan mengalihkan perhatian. Modus kedua ini untuk menggiring kesadaran dan penerimaan kebenaran pada makna lain yang dianggap benar oleh yang berkepentingan membangun makna.

Kecenderungan modus kerja ideologi ketiga adalah unifikasi, yaitu berangkat dari pemikiran bahwa relasi dominasi dapat dibangun dan dilestarikan dengan cara mengkonstruksi tataran simbol dalam bentuk penyatuan yang membawahi individu-individu dalam atau kesatuan identitas kolektif serta mentolerir perbedaan-perbedaan. Dengan mengikat individu secara bersama serta menolak perbedaan dan pertentangan, cara kerja unifikasi dapat diarahkan untuk membangun dan melestarikan penyeragaman relasi dominasi. Kecenderungan keempat untuk melestarikan relasi dominasi melalui fragmentasi, yaitu tidak dengan menyatukan individu-individu dalam kolektivitas, tetapi dengan mengotak-kotakkan individu dan kelompk tersebut yang mungkin dianggap memiliki kekuatan untuk menentang dominasi yang ada. Cara kerja ideologi yang kelima yaitu reifikasi. relasi dominasi dapat dibangun dan dilestarikan dengan menunjukkan kesementaraan hubungan kesejarahan yang telah dianggap permanen, natural dan abadi. Dengan demikian ia akan menghapuskan konteks sosial historisnya. Sesuatu telah dianggap stagnan, mapan dan dianggap sebagai keniscayaan dan kelaziman.

Gagasan selanjutnya penulis berusaha untuk mengeksplorasi faktor sosio historis mengapa stigmatisasi dan pengawetan anti-komunis masih menguat dalam interaksi masyarakat. Melaui cara kerja ideologi tersebut pemerintahan Orde Baru berusaha untuk menciptakan dan melanggengkan stigma terhadap korban peristiwa 1965. Penulis ingin membantu memberi gambaran tentang proses cara kerja stigmatisasi menyangkut produksi, reproduksi, transmisi dan resepsi simbol yang dialami korban atas tuduhan langsung atau tidak langsung dalam peristiwa G30S.

Pada tahapan tertentu, stigmatisasi bisa dilihat sebagai satu mekanisme ideologi yang cerdik membangun disiplin dan kontrol pada para korban. Pemaknaan ideologi dalam buku ini menggunakan simbol dan bentuk untuk menganalisa. Urgensi yang ingin ditangkap penulis adalah melihat bagaimana masyarakat menggunakan simbol-simbol tersebut dalam interaksinya dengan masyarakat yang lain. Riset tentang stigmatisasi korban merupakan kajian tentang bagaimana simbol dan makna komunisme diproduksi dan kemudian ditransmisikan kepada subjek korban. Kajiannya untuk memahami bagaimana stigma dipahami, diinterpretasikan dan direinterpretasikan oleh korban dalam interakasi kehidupan sosial mereka.

Dalam stigma terhadap komunis dan orang-orang yang berhubungan dengan ideologi komunis dianggap merupakan sesuatu yang jahat, tidak bermoral dan tidak bertuhan. Sehingga memunculkan diskursus komunis anti demokrasi, komunis pemecah belah bangsa. Disini terlihat sekali bahwa komunis dicurigai mengganggu tatanan kolektif yang sudah mapan. Secara singkat stigmatisasi dan label negatif yang ada digunakan untuk pembunuhan karakter. Komunis dianggap sebagai identitas lain yang menyimpang sekaligus berbahaya. Berbahaya karena komunis selalu dilawankan dengan demokrasi, kerukunan, kedamaian, keharmonisan dan juga stabilisasi. Komunis menjadi satu-satunya kekuasaan yang patut untuk dipersalahkan. Di bawah kekuasaan Soeharto, antikomunis menjelma menjadi senjata ampuh.

Peristiwa 1965/1966 tersebut dijadikan langkah awal untuk memunculkan stigma dan pelabelan negatif kepada para korban. Langkah awal dalam kerjanya dilakukan melalui pembersihan. Yang pertama dilakukan operasi pembersihan tanpa prosedur normal yang dilakukan oleh pihak militer dengan memobilisir organisasi-organisasi paramiliter yang bernaung di bawah partai-partai politik atau kelompok adat. Kedua dilakukan secara formal dengan terus menerus disuarakan dan diumumkan dalam setiap pertemuan resmi pemerintahan.

Untuk menciptakan sebuah stigma pemerintah menggunakan penyeragaman wacana dan kontrol Negara. Masyarakat harus menerima pemaparan sejarah yang seragam. Hal ini tidak akan pernah terlepas dari adanya dominasi kekuasaan. Dominasi kekuasaan minoritas terhadap mayoritas akan terus melanggengkan stigmatisasi yang sudah tertanam dalam represi ingatan masyarakat.

Penyeragaman wacana dilakukan melalui propaganda media, baik koran, radio maupun film. Setelah peristiwa 1965/1966 semua media massa dibredel, kecuali berita ‘Berita Yudha’ dan ‘Angkatan Bersenjata’ sebagai media yang dikeluarkan oleh Angkatan Darat. Baik ‘Berita Yudha’ maupun ‘Angkatan Bersenjata’ menguatkan bahwa PKI merupakan dalang dan pelaku peristiwa 1965 dan terus menjadikan PKI sebagai kambing hitam. Apa yang diberitakan dua media yang berada di bawah kontrol kekuasaan Negara itu memiliki dalih kepentingan untuk menjaga stabilitas kekuasaan Negara.

Untuk melanggengkan kekuasaan tersebut pemerintahah Orde Baru menciptakan sebuah rezim totalitarisme. Propaganda dan teror menjadi hal yang wajar dalam hal ini. Keduanya merupakan dua sisi yang saling melengkapi. Ketika totalitarisme memiliki kontrol yang mutlak, maka propaganda diganti dengan indoktrinasi dan pengabsahan kekerasan. Kekerasan dipakai bukan hanya untuk menakut-nakuti orang, melainkan sekaligus untuk terus menerus membuat setiap orang melaksanakan ajaran-ajaran ideologi dan mengumbar kebohongan-kebohongan praktis. Karakteristik propaganda totaliter mengandung kebohongan besar namun memiliki sifat ilmiah seperti metode iklan, mengandung kekerasan dalam membesar-besarkan imajinasi dan impian liar tentang dominasi.  Selain itu membungkam kemungkinan argumen ilmiah atau menolak cara berfikir kritis, menafikan hal-hal yang bersifat baru, termasuk sesuatu yang betentangan dengan ideologi totaliter. Dan menghadirkan pemimpin sebagai sosok yang tidak pernah salah dan sukses dalam memprediksi kekuatan. Karakteristik yang terakhir bahwa rezim totaliter mampu untuk mengasingkan massa dari dunia nyata.

Kondisi seperti ini sering dipraktekkan untuk mendesain hegemoni politik dan dominasi kelas. namun demikian penulis tidak memfokuskan pada hegemoni tetapi lebih cenderung pada dominasi. Hal ini disebabkan ketaatan yang diungkan oleh Gramsci sebagai sebuah ketaatan pengutahuan dimana secara moral korban rela dan mau ikut dalam kehendak behasa penguasa tanpa harus melalui penindasan fisik. sedangkan dalam konteks masalah ini usaha dominasi dilakukan melalui kekerasan fisik.

Otoritarianisme dengan ketatnya dominasi wacana digemari oleh rezim siapapun yang sedang memegang kekuasaan. pola ini menjadi mesin berangus yang sangat efektif. Sehingga selama Orde Baru, sejarah nasional lebih merupakan representasi sejarah militer. Militer berkuasa penuh untuk menentukan gambaran dan ingatan masa lalu. Sejarah versi militer dititikkan melalui berbagai media baik monumen, diorama, buku sejarah, hari-hari peringatan dan berbagai wujud media lainnya. Dalam banyak dimensi, terjadi apa yang sering disebut militerisasi sejarah, dimana ortoritas untuk mendefinisikan apapun tentang Indonesia ada pada tangan militer.

Beberapa langkah yang dilakukan pemerintah terkait dengan para korban diantaranya menyebutkan sebagian kecil dari aturan-aturan tersebut, antara lain :

  1. Keharusan mencantumkan kode ET ( Eks Tapol ) pada Kartu Tanda Penduduk. Pencantuman kode ET ini menyebabkan dihambatnya yang bersangkutan mencari pekerjaan dan semua pasar kerja akan takut menerimanya.
  2. Melakukan pembatasan pekerjaan bagi mereka untuk menjadi dosen/guru, wartawan, lembaga bantuan hukum, pendeta dan sebagainya yang tidak diperinci sehingga sangat elastis.
  3. Mencegah mereka memasuki kegiatan kemasyarakatan yang dianggap mungkin menimbulkan kerawanan di bidang sosial politik, sosial ekonomi, sosial budaya dan KAMTIBMAS.
  4. Untuk bepergian meninggalkan kelurahan /desa tempat domisili lebih dari 7 hari, harus dengan ijin khusus. Warga negara biasa tidak memerlukan hal tersebut.
  5. Untuk bepergian ke luar negeri atau melakukan ibadah haji, harus memiliki konduite baik dan ada jaminan tertulis dari seorang/instansi yang dapat dipertanggung jawabkan bahwa yang bersangkitan akan kembali ke daerah domisili semula, serta telah mendapat santiaji dari pejabat atau petugas setempat.

Penumpasan dan pemenjaraan didukung dengan keputusan politik pemberangusan beberapa surat kabar baik nasional maupun lokal nyaris tanpa perlawanan. Seluruh media masa yang digunakan oleh PKI akhirnya dihentikan dan ditutup karena dianggap menjadi media propaganda dalam menyebarkan faham komunisme di Indonesia sejak awal Oktober 1965.

Stigmatisasi yang dibentuk oleh pemerintah Orde Baru berhasil menanamkan pencintraan yang begitu kuat terjadap PKI. walaupun episode arogansi Orde Baru secara politik berakhir, tetapi model sebaran dan internalisasi stigma atas peristiwa 1965/1966 masih mengendap dalam diri masyarakat. Stigma seolah akan diabadikan. Segala bentuk penghitaman disahkan melalui represi ingatan. Politik-militer dijadikan sumber untuk memunculkan pendefinisian pelaku, korban, dalang atau pahlawan. Peristiwa 1965/1966 mirip pementasan teater. Jadi, perhitungan tokoh, alur, konflik atau latar memang sengaja ditampilkan pemilik otoritas tertinggi atas nama dominasi kekuasaan. Orde Baru berhasil memanipulasi teater sejarah itu dengan menakjubkan sekaligus mengenaskan.

Untuk membangun sandaran keabsahan dan dukungan dalam pembentukan gerakan anti komunis, Soeharto tidak tanggung-tanggung membangun pelibatan besar-besaran beberapa kelompok partai, kelompok agama, kelompok pemuda, mahasiswa dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya yang tergabung dalam gerakan anti-komunis. Tidak hanya korban yang terlibat langsung, masyarakat di luar yang sama sekali tidak berkaitan dengan target dari politik pelabelan. Ketika stigma disebar, masyarakat akan cenderung dihadapkan pada dua pilihan. Pertama apakah masyarakat di luar korban menyetujui dan membenarkan apa yang terkandung dalam makna stigmatisasi atau sebaliknya pada kecenderungan kedua di mana masyarakat justru menolak dan memberi bacaan yang tidak sama dengan apa yang dikehendaki oleh kekuasaan. Kepatuhan untuk menerima atau menolak adalah ruang interpretasi yang tidak terkecuali juga menimpa keseluruhan mesyarakat di luar korban.

Sekali lagi segala sesuatu yang dibentuk tersebut digunakan sebagai sarana untuk legitimasi. Legitimasi masa kini sangat ditentukan oleh bagaimana masa lalu dikonstruksi sehingga terbentang kesejarahan yang saling mendukung. Sedikitnya ada dua cara pengendalian narasi dalam sejarah yang berkait dengan modus kerja narativasi dalam ideologi. Pertama dengan penambahan unsur-unsur tertentu dalam sejarah. Praktik ini bisa dilakukan dengan pembuatan dokumen, buku sejarah ataupun film yang mengisahkan keberhasilan, kejayaan dan tentu saja mitos-mitos yang menyertainya. Kedua dilakukan dengan kebisuan sejarah. praktik ini sangat berkait dengan pembangunan legitimasi. Sejarah yang bisa diakui benar hanyalah narasi sejarah yang disusun oleh institusi resmi yang ditunjuk Negara.

Gagasan selanjutnya tentang bagaimana stigma tersebut diinterpretasikan dan direinterpretasi oleh para korban dalam kehidupan keseharian mereka. Peristiwa 1965/1966 telah membalik kehidupan para korban.

Peristiwa 1965/1966 sudah lama terjadi dan banyak hal yang tidak diketahui secara langsung oleh generasi sekarang, namun wacana anti komunis terus bertahan. Penulis berusaha untuk mendekonstruksikan kembali stigma terhadap korban peristiwa 1965/1966. Bagaimana rehabilitasi korban agar dapat berinteraksi sesuai dengan forumnya dan mendapatkan perlakuan yang layak dalam segala aspek kehidupan, baik lingkungan masyarakat maupun yang berhubungan dengan tata kehidupan bernegara. Penulis terinspirasi untuk membangun perspektif baru atas kegelisahan dan masalah korban.

Menampilkan suara korban menjadi bagian yang penting untuk merekonstruksi kembali kebenaran sejarah yang telah lama dikaburkan. Tutur korban merupakan kesaksian yang membawa dimensi harapan baru. Tutur korban menjadi landasan epistemologi untuk merekonstruksi kembali realitas kebenaran. Interpertasi korban terhadap stigma ini ternyata berbeda-beda. Cara yang dilakukan oleh mereka yang masih terkena dampak politik stigma, pertama-tama adalah membangun integrasi dengan komunitas sosial yang lain. Dengan kebersatuan dengan komunitas masyarakat yang lain, maka perasaan dan anggapan sebagai komunitas yang terisolasi bisa perlahan dihilangkan. Mereka berharap bisa diterima dan menjadi bagian utuh masyarakat yang berjalan.

Sementara ada beberapa komentar dan tanggapan lain yang menggambarkan wujud ungkapan penolakan dan resistensi terhadap sistem sosial, politik budaya yang saat ini dihadapkan oleh korban. Resistensi ini ditunjukkan dengan berbagai ekspresi bentuk perlawanan terhadap hegemoni sosial yang mengenai mereka. Mereka juga menunjukkan sikap bersebrangan dengan seluruh sistem Negara yang diskriminatif. Ketika korban telah memahami bahwa apa yang distigmakan saat ini adalah sebuah penipuan dan kebohongan besar, maka baginya yang terpenting bukan pada pelurusan stigma itu harus dilakukan atau tidak, tetapi melakukan aktifitas dan perbuatan yang baik bagi masyarakat menjadi sesuatu yang lebih berarti.

Pilihan korban menghadapi stigma, yang pertama dengan adanya kecenderungan untuk terlibat dan masuk dalam komunitas-komunitas sosial tertentu termasuk mengintegrasikan diri pada komunitas agama tertentu. Peristiwa 1965/1966 dan akibat yang ditimbukan sangat berpengaruh terhadap cara kerja korban mengintegrasikan dengan pola politik, sosial dan budaya masyarakat. Pilihan masuk dalam komunitas agama merupakan bentuk representasi terhadap kebutuhan berlindung diri dari tuduhan ateis.

Kecenderungan kedua, para korban membatasi dan meninggalkan aktifitas –aktifitas politik bentuk integrasi ataupun resistensi yang dilakukan korban peristiwa 1965/1966 untuk menghadapi ruang dan setting politik Indonesia. Selain itu cara ketiga dalam menghadapi stigma tesebut adanya antusias dan keinginan korban untuk berintegrasi dalam komunitas atau paguyuban-paguyuban korban. Untuk jangka panjang, hal ini digunakan untuk menghapus rasa takut dan trauma yang dialami. Pembentukan komunitas atau paguyuban ini sebagai warga Negara yang selama ini dilanggar.

Namun tidak sedikit pula korban yang memilih cara diam untuk menyikapi stigma. Mereka diam dan membatasi diri dari segala bentuk simbol yang mengingatkan mereka kembali pada satu entitas politik ideologi tertentu. Maka wajar dalam situasi represif kekuasaan Negara, para korban akhirnnya merubah cara pembahasan dan tutur kata mereka. Mereka sering menghilangkan ciri-ciri bahasa yang bisa mencirikan karakteristik ideologi para korban. Selain itu tidak jarang pula yang merubah nama mereka sebagai penyamaran identitas mereka. Hal ini dikarenakan nama-nama korban telah terdaftar dalam catatan Negara.

Penulis berusaha untuk menyingkap cara dan bagaimana makna dikonstruksi dan dibawa ke dalam dunia sosial yang berpengaruh dari simbol-simbol yang telah diproduksi, ditransmisikan, diresepsi serta dipahami dalam kehidupan keseharian korban. Poin pentingnya terletak pada bagaimana subjek korban menginterpretasikan dan mereinterpretasikan berbagai wacana dan simbol yang hadir.

Gagasan penulis ini juga merupakan salah satu upaya untuk pelurusan sejarah. Penulis berani mengangkat dan mengkonfrontasikan episode-episode dalam sejarah suatu bangsa, sebagai cara untuk meluruskan catatan sejarah dan menyembuhkan luka-luka politis dan moral yang terjadi di masa lalu. Mengangkat kembali hak para korban demi membangun relasi hidup yang lebih baik. Tantangan pelurusan sejarah tidak terletak pada masalah perebutan ‘kebenaran’, melainkan ada dalam maksud kepentingan ‘kebenaran sejarah’ yang lebih hakiki. Utopia kebenaran sejarah adalah rumusan harapan yang masih penuh multitafsir dan multi kepentingan. Multitafsir justru mengartikan bahwa masih ada kemungkinan ruang yang bisa diambil dan diperjuangkan.

Gagasan etis penulis berangkat atas kebutuhan penting untuk mengangkat wajah sejarah lebih manusiawi. Kebenaran sejarah yang bisa dimengerti bukan semata kumpulan data-data, melainkan pemahaman sejarah yang lebih relasional, historis dan kontekstual. Pelurusan sejarah yang sanggup mendekatkan kebenaran tidak semata pada ‘pengetahuan’ melainkan ‘peghayatan batin’ subjek sejarah. Penulis mencoba mengemukakan persepsinya dengan menggunakan pendekatan yang baru, yaitu hermeunitika mendalam. Pandangannya menekankan pada pembacaan komunikasi bagaimana stigma itu bisa tumbuh dan berjalan baik dalam aspek produksi, reproduksi dan resepsi di tengah masyarat.

Bahan Rujukan

Narwaya, Tri Guntur . 2010. Kuasa Stigma dan Represi Ingatan. Yogyakarta: Resist Book.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: Pusta Pelajar dan Insist Press.

Sugiharto, I Bambang. 1996. Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

 

Agresi Militer Belanda

Posted: Juni 21, 2012 in Uncategorized

untuk melihat video ini dapat di klik di sini

Perpustakaan UNS

Posted: Juni 21, 2012 in Uncategorized

http://perpustakaan.uns.ac.id/

KAJIAN SEJARAH STRUKTURIS

Posted: Juni 21, 2012 in Uncategorized

Review Buku: Geger Tengger

(Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, Robert William Hefner, 1999)

 

 

  1. I.       PENDAHULUAN
  2. A.    Latar Belakang Masalah

Sebagai masyarakat yang menamakan dirinya masyarakat Tengger sudah tentu memiliki kedinamisan hidup. Oleh karena itu sebagai manusia normal mereka tidak mau dianggap sebagai kelompok masyarakat yang statis. Menjadi orang-orang dataran tinggi identik dengan menjadi wong tani. Pada masa pra-kolonial, pertanian di dataran tinggi Tengger dikelola terutama komoditas jagung sebagai makanan pokok wilayah tersebut dan pengolahan sekunder pada bermacam-macam tanaman komersial yang dijual ke luar wilayah. Pada awal periode kolonial, populasi kecil penduduk dataran tinggi terkonsentrasi di daerah lereng atas. Para petani mempraktekkan sistem perladangan berpindah dengan pengosongan semak-semak dan rumput secara luas. Ketika satu petak tanah telah digunakan selama satu atau dua tahun, kemudian dikosongkan selama lima belas hingga tiga puluh tahun dan penduduk membuka areal hutan yang lain untuk diolah.

Pada akhir era kolonial, terjadi perpindahan kaum Muslim dari dataran rendah ke dataran tinggi akibat dari program pemerintah dalam mewajibkan pengusahaan kopi. Secara ekologis, pengusahaan kopi ini sangat mengakibatkan erosi yang sangat luas dan kerusakan humus, secara ekonomi petani juga hanya mendapatkan sedikit insentif dari apa yang mereka kerjakan. Di daerah pegunungan tidak terdapat manfaat ekologis yang sebanding dengan investasi yang dibuat oleh pemerintah pada sistem irigasi sawah. Pemerintah memberlakukan tanah pegunungan sebagai sumberdaya yang dapat dihabiskan, tanah berharga ketika tenaga manusia dihubungkan dengan pembangunan mereka.

Selain itu juga perulatan partai politik yang ada pada saat Orde Baru di daerah tersebut ikut membentuk terjadinya perubahan dalam struktur sosial masyarakat dan pemerintahan di daerah tersebut.

Berdasarkan pemaparan diatas maka, maka dalam makalah sederhana ini penulis akan mencoba mereview buku yang berjudul Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik untuk menemukan  perubahan sosial dalam masyarakta Tengger dan Mengkaji unsur strukturis dalam buku ini.

 

  1. B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah yang cukup penting untuk dibahas dalam makalah sederhana ini, antara lain.

  1. Bagaimanakah isi garis besar buku Geger Tengger Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik?
  2. Bagaimanakah unsur strukturis dalam buku Geger Tengger Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik?

 

  1. C.    Tujuan
  2. Untuk mengetahui isi garis besar buku Geger Tengger Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik.
  3. Untuk mengetahui unsur strukturis dalam buku Geger Tengger Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik.

 

  1. II.    PEMBAHASAN
  2. A.    Hasil Review Buku Geger Tengger Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik

Sebuah kasus Tengger, salah satu wilayah di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur, yang pernah diamati oleh Hefner dengan sangat serius membuktikan sinyalemen Stephan di atas. Robert W. Hefner, yang lebih dikenal sebagai Bob Hefner ini, melalui penelitian panjang yang kemudian dibukukan menjadi, The Political Economy of Mountain Java (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi, Geger Tengger: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik (LKIS)), melukiskan perkelahian politik menjelang Pemilihan Umum 1955 sampai tahun 1965 sebagai babak politik yang penuh persaingan dan keterbukaan namun berujung menjadi ironi.

Dalam kasus Tengger itu, kegiatan politik diteriakkan terlampau bersemangat. Betapa tidak, dalam kasus Pasuruan, khususnya Tengger, isu-isu agama begitu mewarnai perkelahian politik menjelang pemilu 1955. Meskipun geografi politik Pasuruan waktu itu relatif sederhana, hanya diwarnai oleh polarisasi antara NU yang mendominasi daerah Bawah, dan daerah golongan nasional yang mendominasi daerah atas (Tengger), namun konflik politik berlangsung seru mengingat isu yang dibawa dalam kampanye itu telah menjurus kepada politisasi agama, sebuah preseden yang kembali berulang di masa kini.

Demikianlah Herbert Feith juga mengamati panggung politik menjelang tahun 1955 itu. Masyumi misalnya menyerang golongan komunis sebagai ateis, sementara Nahdlatul Ulama mengkritik Masyumi sebagai modernis. Meskipun golongan NU waktu itu dilukiskan lebih sengit dengan lawan-lawannya di kubu modernis, namun NU juga tak kalah serunya dalam menyerang agresifitas yang digerakkan orang-orang PKI dalam menggalang kekuatan massa. Isu-isu Landreform yang dilancarkan PKI tentu saja menyinggung sebagian perasaan para kiai pemilik segepok tanah di beberapa wilayah di Pasuruan. Yang tak kalah serunya juga adalah ketegangan diantara kelompok Islam Ortodoks dengan keyakinan orang Tengger yang semakin menjuruskan politisasi agama menjadi komoditas politis yang tak mudah dikesampingkan.

Orang-orang NU yang berada di kubu terbesar dari Islam Ortodoks waktu itu, meminta praktik-praktik ritual di daerah atas (Tengger) supaya dianggap sebagai penyimpangan yang tak bisa dimaafkan oleh agama. Kebetulan sebagian besar orang-orang Tengger berafiliasi kepada partai PNI dan sebagian lagi ke PKI. Dalam kaitan kasus ini Hefner melaporkan, sebelum pemilihan umum 1955, ketegangan mencapai puncaknya ketika sekelompok aktifis muslim (yang secara longgar terkait dengan fraksi radikal NU) menyerbu salah satu tempat yang paling dikenal dihuni dhanyang, yang berlokasi di tengah-tengah reruntuhan pemandian Hindu abad XIV M. Roh-roh yang melindungi tempat keramat itu dihormati oleh orang-orang muslim di daerah lereng tengah dan juga orang-orang Hindu di daerah lereng atas, dan para peziarah dari seluruh kabupaten secara reguler berkumpul di tempat itu Di bawah gelapnya malam, orang-orang militan tersebut memasuki tempat keramat, menghancurkan patung-patung Hindu Kuno dan menurunkan patung itu lalu membuangya di dekat sungai. Berita penyerangan itu menyebarkan teror di seluruh pegunungan, yang menyebabkan perasaan takut di kalangan warga Tengger.

Ketakutan ini boleh jadi sebuah perasaan sadar-diri mereka sebagai kelompok minoritas dibandingkan orang-orang NU yang bisa dengan mudah menggerakkan ribuan umatnya untuk menyerukan “perang suci”. Toh demikian, dalam Laporan Geertz, Hefner maupun Herbert Feith itu, perasaan kecewa menyelimuti sebagian elite-elite NU di level nasional mengingat usaha mereka yang berlebihan untuk merebut suara tak sebanding dengan hasilnya. Pemilu 1955 membuktikan “kejawaan” orang-orang Jawa yang tidak mudah luntur oleh gelombang Islam maupun Komunis. Terbukti PNI, basisnya orang-orang Kejawen mengantongi suara terbesar dalam Pemilihan Umum di tingkat nasional (22,3 persen). Disusul oleh Masyumi (20,9 persen), NU, 18,4 persen dan PKI, 16,4 persen.

Akan tetapi suara perolehan nasional itu tidak mengubah dominasi politik NU di wilayah Pasuruan (61,0 persen). Oleh karena itu, meskipun kawan-kawan orang Tengger yang separtai (PNI) memenagkan suara di tingkat nasional, di tingkat lokal tetap saja suara mereka minoritas, apalagi bagi minoritas Tengger yang lebih berafiliasi ke PKI. Dominasi politik orang-orang NU di pasuruan ini, ditambah oleh “kebringasan” mereka dari sebagian kelompok militannya menjadi ancaman tersendiri bagi orang-orang Tengger. Isu-isu agama yang dilontarkan sebagian orang NU selanjutnya menjadi persoalan serius yang selalu mereka waspadai. Saudara-saudara mereka yang menganut Islam-Kejawen di daerah bawah dan tengah tak banyak menolong dalam memediasi persoalan ini. Menjadi minoritas baik dari segi agama maupun politik sepertinya sebuah dosa turunan, kelak dosa itu harus mereka tebus dengan pengorbanan nyawa.

Isu agama kembali menemukan bentuknya yang paling agresif menjelang tahun 1965. Roda politik yang memposisikan kelompok Komunis dan NU sebagai pemegang suara mayoritas menjadi awal bencana yang membawa preseden buruk bagi masa depan politik berikutnya. Isu kelas yang dimunculkan kalangan elite PKI dengan menggulirkan isu Landreform tidak menghasilkan buah sebagaimana diinginkan. Lawan-lawannya, dari kalangan Islam (NU maupun Masyumi) justru menafsirkan tantangan dari pihak Komunis itu sebagai perlawanan agama. Kampanye-kampanye agresif yang diletupkan kalangan PKI dengan menyerang sikap orang-orang Islam semakin memojokkan PKI sebagai common enemy. Bersamaan dengan itu perpecahan di tubuh militer semakin mengarahkan perkelahian antara partai menjadi perkelahian penuh banjir darah. PKI semakin terbuka untuk diserang dari berbagai arah, mengingat semua kepentingan menjurus (dijuruskan?) kedalam politik “kambing hitam”, dimana PKI harus menjadi korbannya.

Tengger yang sesungguhnya tidak mengerti persoalan antar elite politik itu harus menanggung getahnya. Penyapuan bersih orang-orang Komunis di seluruh Jawa Timur sampai pula ke daerah atas di Tengger. “Geger Tengger” menjadi saksi mata betapa tidak mudahnya menjadi kaum minoritas meskipun di negeri sendiri. Orang-orang yang semula begitu membenci Islam karena berbagai soal menjadi target pembersihan itu, tak peduli apakah ia berafiliasi ke PKI atau tidak. Orang-orang yang dulu dibenci sebagai elite urakan, karena ulahnya yang sedikit menyebalkan sebagian orang-orang Islam juga mudah disapu oleh aksi pembersihan itu. Pendeknya, pertikaian-pertikaian politik yang begitu kompleks menjelang tahun 1955 dan 1965, yang melibatkan persoalan agama, dendam pribadi, konflik elite begitu disederhanakan persoalannya menjadi Islam versus musuh Islam (dimana kategori musuh Islam selalu dijuruskan kepada kelompok Komunis).

Akhirnya yang lebih mengejutkan lagi, tragedi 1965 itu ternyata bukan saja menghapus semua memori bangsa Indonesia tentang Komunisme, melainkan semua kenangan politik yang diwarnai keramaian karena perkelahian dan persaingan politik menjelang tahun 1955, dan tahun 1965. Jika soalnya kita kembalikan kepada sinyalemen Stephan di atas, keterbukaan politik ternyata tak lekas menghasilkan gelombang demokratisasi. Itulah mengapa keterbukaan politik yang seperti ini perlu kita waspadai bersama. Jangan-jangan ia hanya muncul sesaat lalu digantikan oleh sebuah rezim yang relatif sama dengan gaya Orde Baru. Sebuah rezim yang oleh Daniel Dhakidae perwatakannya disebut bersifat Neo-Fasisme.

Celakanya kepongahan Neo-Fasisme Orde Baru itu, bukan saja menyeruak tampil dalam rezim militeristik yang keras dan haus darah, melainkan pula menelusup sebagai rezim pengetahuan (rezim kebenaran) yang direproduksi sebagai gagasan teoritik dan praktik wicara. Kenyataan ini terbentuk sebagai hasil dari kesuksesan Orde Baru. Dalam membangun kekuasaannya Orde Baru bukan saja menyapu bersih tindakan subversib masyarakat yang melawan negara, melainkan menyosialisasikan, mereproduksi pengetahuan-pengetahuan terpilih dan terseleksi sebagai gagasan sejarah, sosiologi, dan politik yang kemudian dianggap sebagai pengetahuan normal dalam pengajaran sekolah, dunia akademik dan dunia penelitian. Dalam konteks semacam ini Cendekiawan yang digambarkan oleh Daniel Dhakiadae dalam, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Orde Baru (Gramedia, 2003) bukan saja berada dalam ambivalensi menetukan derajat otonomi mereka berhadapan dengan kekuasaan negara, tapi (bahkan) masuk secara total menjadi bagian dari sistem kekuasaan itu sendiri.

Jika semua ini tidak menjadi perhatian masyarakat sipil di Indonesia, boleh jadi nasib euphoria politik ini berujung kepada kegagalan membangun demokrasi. Kegagalan ini sebaliknya bisa menjadi “mimpi buruk” bagi sebagian masyarakat, karena trauma politik kambing hitam di masa lalu bisa muncul dalam masa yang tidak bisa diduga-duga. Oleh karena itu, agaknya bukan persoalan yang teramat genting apakah partai politik kita nanti bertambah jumlahnya atau tidak. Yang krusial diwaspadai saat ini justru sejauh mana isu-isu politik yang dibangun saat ini turut menambah kualitas demokrasi itu; peningkatan good governace, system of balance, pemerataan ekonomi dan sebagainya.

makna sejarah Tengger seperti di atas tak pernah dipelajari secara seksama. Meskipun Dwight J. King juga pernah melukiskan sebegitu mirip persaingan politik dalam pemilu kemarin (1999) dengan Pemilu 1955 (dilihat dari perolehan suara yang dikaitkan dengan preferensi politik berdasarkan basis kultural), toh kita tak segera beranjak untuk mencari solusi supaya keramaian politik sebagaimana tahun 1955 itu tidak berujung pada kemacetan yang sama.

Dalam buku Geger Tengger karya Robert Hefner ini digambarkan sejarah tentang keadaan di Pegunungan Tengger, Kabupaten Pasuruan, sejak jaman kejayaan Hindu di Jawa sampai periode awal Orde Baru. Pada awal buku ini, Hefner menggambarkan eksistensi Hinduisme di Jawa  sampai dengan saat keruntuhannya. Yang ternyata tidak berpengaruh pada eksistensi Hinduisme Tengger. Selanjutnya Hefner menyoroti pasang surut ekonomi di Tengger akibat dari pergantian penguasa maupun politik, yang pada akhirnya membawa perubahan sosial budaya  di Tengger. Buku ini diakhiri dengan suatu konflik sosial politik walaupun unsur agama juga masuk dalam pertarungan ini. Bagi antropolog, buku ini memberikan suatu pandangan tentang agama dan politik di Indonesia sekaligus pencarian wacana civil society di bangsa yang beragam agamanya.

Petani gunung yang sederhana sulit dikatakan sebagai pewaris kejayaan Hindu Jawa, karena tidak mengenal kasta, tidak punya keraton, kesenian yang halus, dan kelas aristokrat. Pada akhir abad ke 19 setelah jalan-jalan mulai dibangun, interaksi antara masyarakat pegunungan dengan masyarakat di dataran rendah mulai intensif. Pedagang-pedagang (tani bakul) yang sering berinteraksi dengan masyarakat dataran rendah yang lebih Islami dan sedikit simpati terhadap adat istiadat masyarakat pegunungan mulai berdatangan seiring dengan jalur transportasi yang telah terbuka. Hal ini menjadi awal perubahan masyarakat pegunungan yang lebih Islam dan berjenjang.

Pegunungan Tengger yang berada di wilayah Pasuruan, pada masa Kerajaan Majapahit menjadi tempat penting dalam hal ritual agama Hindu. Ada beberapa analisis yang menyatakan kalau Tengger ini menjadi tempat pelarian orang-orang Hindu Majapahit ketika Islam mulai masuk ke Jawa. Perkembangan Islam yang terus intensif pada masa Mataram semakin menggeser kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur, sehingga orang-orang yang anti Mataram melarikan diri ke Tengger ini dengan membawa ideologi termasuk agamanya.

Kontak awal masyarakat Tengger dengan Belanda terjadi ketika penumpasan Trunajaya yang memberontak kepada Mataram dan mundur kearah Tengger ini. Sebelum datangnya Islam, Kerajaan Singasari didirikan diujung paling barat pegunungan Tengger sampai akhirnya mampu direbut Kediri, dan kemudian direbut kembali serta memindahkan keratonnya lebih ke barat dan dinamakan Majapahit. Pada masa selanjutnya muncul pemberontak baru di Mataram yang dipimpin oleh Surapati. Dia sempat mendirikan pusat kekuasaannya di Pasuruan sebelum akhirnya dapat dikalahkan pasukan Mataram bersama VOC.

Kerajaan Balambangan merupakan kerajaan Hindu terakhir di Jawa, Tengger dan Bali menjadi aliansinya yang anti Mataram Islam. Ketika Balambangan mampu diislamkan oleh Mataram, Hinduisme Jawa hanya terdapat pada masyarakat petani di Tengger. Selanjutnya penyerahan pantai utara Jawa ke VOC kompensasi atas penumpasan pemberontakan Mataram, membuat Pasuruan berada di bawah bayang-bayang kolonial. Pada awalnya Tengger menjadi lahan kolonial untuk menanam sayuran sebagai komoditas mereka dalam pemenuhan kebutuhan. Menjelang tanam paksa pada tahun 1828, kecamatan Tengger dihuni oleh duaribuan orang saja yang kebanyakan adalah orang Jawa Hindu.

Pembagunan jalur transportasi di Tengger telah membawa pengaruh besar begi perubahan masyarakatnya. Pembukaan lahan baru serta perdagangan telah menghubungkan antara wilayah atas dan wilayah bawah. Permintaan hasil pertanian di wilayah bawah dari wilayah atas menjadi salah satu penyebabnya. Penduduk Cina dan Eropa merupakan konsumen utama hasil sayur-sayuran dari wilayah atas. Pada tahun 1920an orang-orang Cina, Jawa, dan madura mulai membuka toko-toko di sekitar tengger. Masyarakat Tengger sedikit antipati terhadap mereka, dan hanya lebih toleran terhadap orang Cina daripada orang Jawa dan Madura.

Menurut Hefner, pegunungan Tengger telah berada di tengah-tengah revolusi perdagangan yang sesungguhnya, yang dibuka jalannya oleh kelas pedagang makmur baru. Ketika terjadi krisis ekonomi ditahun 1930an, pedagang di wilayah atas tidak begitu terpengaruh dan masih melanjutkan kegiatn ekonominya. Kepemilikan tanah dan ketenagakerjaan di Tengger sejak abad 19 dibentuk oleh sejumlah institusi. Pemerintah kolonial menguasainya dengan merubah ekonominya. Kebijakan Belanda dengan memindahkan banyak orang luar ke daerah Tengger dengan janji tanah pertanian, membentuk suatu wilayah pemerintahan. Penarikan paja tenaga kerja kepada pemilik tanah menjadi salah satu alasannya.

Pada masa pendudukan (penjajahan) Jepang, awalnya masyarakat pegunungan Tengger (khususnya) menerima kedatangan jepang dengan baik. Akan tetapi kemudian dengan kebijakan tentara Jepang yang semakin kejam membuat mereka menderita. Beban berat kerja paksa dan penanaman pohon Jarak yang ditanggung membuat banyak orang muda yang melarikan diri ke daerah bawah. Setelah merdeka terdapat sedikit kelegaan dan mulai bangkit kembali situasi ekonomi pegunungan.

Konflik politik yang terjadi di Jawa pasca jatuhnya orde lama dan PKI sarat akan kekerasan. Jawa Timur merupakan basis NU secara keseluruhan, dan Pasuruan menjadi basis paling kuat karena banyak pesantren yang didirikan di sana. PKI yang memang berhaluan kiri lebih dianggap sebagai ateis oleh kalangan NU maupun Masyumi. PNI yang lebih nasionalis ternyata juga penuh akan korupsi. NU yang sudah memisahkan diri dengan Masyumi sejak tahun 1950an menjadi kekuatan Islam yang besar di Jawa. Konflik ini diawali ketika berakhirnya orde lama dan diganti oleh orde baru dan hancurnya PKI di Indonesia. Orde baru melakukan pembersihan terhadap sisa-sisa PKI yang masih ada. Hal ini diikuti oleh organisasi muslim yang ada di Jawa Tengah, kemudian diikuti pula oleh pemuda Muslim Jawa Timur, Ansor, yang merupakan organisasi NU. Walaupun begitu sebagian besar organisasi Islam mendukung atas penyerangan dan pembunuhan orang-orang PKI ini.

Gerakan pembersihan PKI ini juga terjadi di Pasuruan, dan tersiar rumor bahwa golongan kejawen yang didukung oleh PNI juga akan diserang. Kelompok kejawen yang berada di lereng tengah pegunungan Tengger panik dan menunda segala upacara ritual pemujaan dhanyang, bahkan peminat Jumatan bertambah banyak. Hal itu dilakukan untuk menghindari kecurigaan orang dataran rendah (NU) agar tidak menyerang mereka. Tersiar kabar pula bahwa konflik yang terjadi adalah konflik agama, tetapi ternyata bahwa organisasi Muslim lebih memilih PKI sebagai sasarannya. PKI di daerah lereng atas yang Hindu malah cenderung sedikit, tokoh-tokoh PKI didominasi oleh para pedagang-pedagang yang berasal dari dataran rendah. PNI yang mendukung kejawen dan dimusuhi oleh NU, dimanfaatkan oleh NU untuk mendata tokoh-tokoh PKI karena PNI banyak anggotanya yang menjadi pamong desa. Kekerasan berdarah ini berlangsung beberpa pekan, walaupun memang yang melakukan organisasi Muslim khususnya NU akan tetapi dibalik semua itu peran militer dan polisi sangat besar.

Hefner secara khusus menjelaskan bahwa konflik berdarah ini adalah buatan dari penguasa negara. Hal itu juga bisa terlihat dari uraian di atas bahwa hanya PKI yang menjadi sasarannya sehingga tidak bisa dikatakan sebagai konflik agama. Akibat dari pertentangan politik (kepentingan penguasa tadi) membawa perubahan besar dalam masyarakat pegunungan Tengger. Di lereng atas orang-orang Hindu tidak dipaksa masuk Islam. Akan tetapi terdapat pembaharuan ritual dan doktrinal dalam konteks nasional sesuai dengan peraturan negara atas agama. Begitu juga di daerah lereng tengah, semakin berkurangnya kejawen dan meningkatnya kegiatan-kegiatan masjid.

  1. B.     Unsur Strukturis dalam Buku Geger Tengger Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik.

pendekatan strukturis bertujuan menampilkan realitas dalam bentuk causal factors yang tidak tertangkap oleh pancaindra. Fenomena-fenomena seperti pemberontakan, revolusi, perubahan sosial, dsb. dapat ditangkap melalui pancaindra, karena terkandung dalam sumber sejarah yang dapat dibaca dan dipelajari. Tetapi sebab-musababnya tidak muncul secara empiris dalam sumber sejarah, karena tersembunyi dalam struktur sosial yang unobservable itu. Secara teoritis terdapat interaksi antara manusia (individu atau kelompok) dan struktur sosial dimana mereka’ berasal. Maka untuk menampilkan causal factor yang unobservable itu seorang sejarawan yang mendapat datanya dari sumber sejarah harus menggunakannya untuk menganalisa struktur sosial agar dapat menampilkan interaksi antara manusia yang konkrit (observable) dan struktur sosial yang tidak kasat mata itu (unobservable).

Pengertian struktur sosial yang unobservable dalam pendekatan ini berasal dari sosiologi realis. Struktur sosial bukanlah kumpulan manusia yang kongkret (agregasi), tetapi suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat “emergence” berupa peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi, dan pemikiran (mentalite). Tetapi berbeda dengan sosiologi pada umumnya, menurut pendekatan strukturis, perubahan sosial tidak disebabkan oleh struktur sosial lainnya (kriminalitas yang meningkat disebabkan pengangguran yang meningkat), tetapi perubahan struktural justru disebabkan tindakan-tindakan kongkret dan observable dari manusia (individu atau kolektfitas) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan pemikiran tertentu. Pendekatan strukturis bertujuan menjelaskan perubahan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang modern.

Pendekatan strukturis merupakan pendekatan yang seolah-olah menggabungkan antara hermenuetika dan struktur. Dalam pandangan lama beranggapan bahwa antara pendekatan hermenuetika dan struktural menunjukkan adanya dikhotomi. Hermenuetika tidak menampilkan struktur dan struktural tidak menampilkan aspek hermenuetika.

Penggunaan hermenuetika dalam metodolgi strukturis akan nampak manakala si peneliti ketika membaca sumber atau masuk terlibat ke dalam objek yang ditelitinya. Dalam kerja tersebut, peneliti akan melihat komponen “expressed intention” (pelaku dan pemikirannya, peristiwa) yang merupakan fenomena yang kasat mata, dapat ditangkap dengan pancaindera.Sedang struktur sosial merupakan “unobservable”, tidak dapat ditangkap dengan panacaindera. Struktur sosial hanya dapat ditemukan apabila si peneliti menggunakan teori. Si peneliti melakukan analisis, ketika menampilkan hingga struktur sosial yang tidak kasat mata (ubobservable). Dengan demikian aspek peristiwa dengan struktur sosial dalam metodologi strukturis menunjukkan adanya hubungan dualisme simbiosis.

Dalam metodologi strukturis , peristiwa dan struktur sosial tidak bersifat dikotomik tetapi merupakan suatu dualisme simbiotik yang berdialektika. Maksudnya, peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur sosial, sedangkan struktur sosial mengandung hambatan atau dorongan bagi tindakan perubahan itu. Pengertian Struktur sosial yang unobservable dalam pendekatan ini  bukanlah kumpulan manusia yang kongkret (agregasi), tetapi suatu unit yang memiliki ciri-ciri umum yang bersifat “emergence” berupa peran-peran, aturan-aturan, pola interaksi dan pemikiran (mentalite). Menurut pendekatan strukturis , perubahan sosial tidak disebabkan struktur sosial lainnya tetapi perubahan struktural justru disebabkan tindakan-tindakan konkret dan observable dari manusia (individu atau kolektifitas) disebut (agency) yang dengan sengaja mengubah peran, aturan, interaksi berdasarkan pemikiran tertentu. Manusia dilahirkan dalam struktur sosial tertentu dan memiliki kemampuan untuk memproduksi atau mentransformasi struktur sosial dimana ia berasal. (Llyod  1993; 38-40). Perubahan (struktur )sosial adalah tujuan utama dari metodologi strukturis.

Dalam buku Geger Tengger karya Robert Hefner ini digambarkan sejarah tentang keadaan di Pegunungan Tengger, Kabupaten Pasuruan, sejak jaman kejayaan Hindu di Jawa sampai periode awal Orde Baru. Pada awal buku ini, Hefner menggambarkan eksistensi Hinduisme di Jawa  sampai dengan saat keruntuhannya. Yang ternyata tidak berpengaruh pada eksistensi Hinduisme Tengger. Selanjutnya Hefner menyoroti pasang surut ekonomi di Tengger akibat dari pergantian penguasa maupun politik, yang pada akhirnya membawa perubahan sosial budaya  di Tengger. Buku ini diakhiri dengan suatu konflik sosial politik walaupun unsur agama juga masuk dalam pertarungan ini. Bagi antropolog, buku ini memberikan suatu pandangan tentang agama dan politik di Indonesia sekaligus pencarian wacana civil society di bangsa yang beragam agamanya.

Dalam buku ini Hefner menjelaskan bagaimana terjadi proses terjadinya perubahan sosial di pegunungan Tengger, terutama stratifikasi yang semakin mencolok antara petani kaya dan petani miskin. Digambarkan pula pada tahun 1960-an, petani pegunungan mengalami kemandegan dan krisis, akibat dari kebijaksanaan yang datang dari luar serta merosotnya keadaan ekologis, bukan karena irasionalitas petani atau watak tradisional yang pekat. Pada tahun 1970-an revolusi hijau yang digalakan pemerintah dapat meningkatkan produktifitas, namun tidak dapat menghentikan erosi yang terjadi di pegunungan. Jadi, selain terdapat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat Tengger, perubahan juga terjadi pada keadaan alam di pegunungan Tengger.

Hefner secara khusus menjelaskan bahwa konflik berdarah ini adalah buatan dari penguasa negara. Hal itu juga bisa terlihat dari uraian di atas bahwa hanya PKI yang menjadi sasarannya sehingga tidak bisa dikatakan sebagai konflik agama. Akibat dari pertentangan politik (kepentingan penguasa tadi) membawa perubahan besar dalam masyarakat pegunungan Tengger. Di lereng atas orang-orang Hindu tidak dipaksa masuk Islam. Akan tetapi terdapat pembaharuan ritual dan doktrinal dalam konteks nasional sesuai dengan peraturan negara atas agama. Begitu juga di daerah lereng tengah, semakin berkurangnya kejawen dan meningkatnya kegiatan-kegiatan masjid.

Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu benang merah tentang unsur strukturis dari buku ini. Dimana perubahan sosial yang terjadi tidak terbentuk dalam waktu yang singkat tetapi sudah terbentuk dari waktu ke waktu mulai dari zaman pra colonial sampai zaman Orde Baru. Selain itu perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat tengger terjadi karena orang-orang tengger terdesak yang mayoritas beragama Hindu-Budha oleh masyarakat yang beragama Islam. Sehingga perubahan sosial disni disebabkan oleh kelompok masyarakat bukan oleh individu, dari sini sangat jelas terdapat pendekatan unsur strukturis yang digunakan oleh penulis.

 

III. PENUTUP

  1. A.    Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa struktur sosial memiliki kemampuan untuk mengubah struktur sosial di mana ia berasal. Di sinilah strukturisme meneguhkan peranan peristiwa mengandung kekuatan mengubah struktur sosial, sedangkan struktur sosial mengandung hambatan atau dorongan bagi tindakan perubahan itu. Selain itu dalam metodologi ini ada tahapan deskripsi, terutama yang menyangkut fenomena atau peristiwa, dan ada tahapan analisis yang menyangkut struktur sosial, serta penentuan mekanisme kausalitas yang menjelaskan perubahan itu. Struktur sosial di sini bisa berupa norma-norma, peran-peran, interaksi-interaksi yang muncul dari tindakan-tindakan dan pemikiran manusia. Manusia dilahirkan dalam individu sebagai faktor determinan dalam mentransformasi dan mereproduksi perubahan struktur sosial. Individu (atau sekelompok individu) inilah yang kemudian disebut sebagai ‘agent of change’.

REFERENSI:

Hefner, Robert William. 1999. Geger Tengger  Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik.

Angkersmit.  Refleksi Tentang Sejarah . Pendapat-Pendapat Modern tentang Fisafat Sejarah. Terj. Jakarta: Penerbit Gramedia. 1987

Hello world!

Posted: Juni 21, 2012 in Uncategorized

SELAMAT DATANG